dylla lalat

MELUKIS KEGELISAHAN LEWAT SASTRA MEMBUSUR RUHANI MELALUI PENA

JANGAN MAIN-MAIN DENGAN KELAMINMU

Kalau saja, apa yang telah kita lakukan benar-benar lebih awal diketahui resikonya, maka pasti apa yang akan kita lakukan itu urung dilakukan bahkan akan kita buang jauh-jauh, seberapa pun penting dan mendesaknya ia.

Kalau saja sesuatu itu memungkinkan kita melejit; menjadi orang yang lebih dikenal tak disertai gejala tak karu-karuan, mungkin saja apa yang tersedia di bumi ini akan habis diembat. Kalau saja, apa yang telah dilakukan oleh seseorang itu dengan rasa senang akan dituruti atau diikuti orang diluar diri, maka bisa dipastikan dinamika yang kita hadapi tidak akan menawarkan darah dan air mata. Semuanya akan berjalan baik dan benar.

Manusia lahir dilengkapi dengan akal, agar ia memiliki kesadaran. Kesadaran menjalankan apa yang baik bukan saja menurut hukum agama melainkan baik, juga menurut hukum sosial kemasyarakatan. Artinya, manusia dengan hukum dan tata aturan tidak pernah bisa dipisah-pisahkan apa pun alasannya. Dan fakta, semua kita tentunya hanya bercita-cita untuk menjalankan hal itu, hari-hari dan waktu kita tetap menjadi gelap.

Manusia bisa memiliki cita-cita untuk menjadi apa saja, tergantung yang ia cita-citakan. Cita-cita menjadi milik semua manusia yang memiliki kesadaran untuk maju karena cita-cita itu sendiri adalah motivasi. Motivasi yang akan memicu gerbong ‘pemilik cita-cita’ agar tidak keluar dari lintasan yang tentu saja akan berakibat fatal. Bahkan yang mesti disalahkan adalah mereka yang tidak memiliki cita-cita, sehingga menuding orang lain macam-macam. Semuanya itu sah adanya dan tidak perlu dipertentangkan. Cita-cita adalah energi yang dengannya kita bisa bertegursapa dengan santun, bijak, penuh kekeluargaan dan persahabatan.

Hanya saja yang membedakan adalah teknik, strategi, cara dan waktu tempuh untuk menggapai cita-cita itu sendiri. Ada yang ingin mengambil cara instan, pragmatis bahkan tidak mampu membaca kedalam diri. Sehingga, yang muncul adalah penyakit meremehkan orang lain, seakan-akan hanya dirinya yang pintar, baik, benar dan hebat.

Kecenderungan sementara ini, kehebatan seseorang bukan dinilai dan diukur seberapa besar manfaat ia berbuat untuk masyarakat disekitar, melainkan seberapa Mudharat ia melaksanakan hal yang dianggap mampu mendongkrak popularitas kendati harus melawan hukum. Seakan-akan hukum menjadi tempat bersarang dan bertopengnya para kelompok kepentingan untuk berkamuflase. Seolah-olah hukum adalah sebuah wilayah yang sudah dikapling secara permanen untuk melindungi pola-pola yang tidak sehat, dan tidak bisa disentuh orang lain yang dinilai tidak memiliki kesamaan pandangan dan kosep.

Wilayah aturan, norma, etika dan hukum terkesan wilayah kebijakan. Dan tentu yang memiliki Policy tersebut hanyalah seorang atasan atau pimpinan. Wilayah kebijakan akan bisa dimiliki oleh bawahan manakala telah dimandatkan atau didelegasikan, selama itu bisa dipertanggung-jawabkan. Dengan kata lain, wilayah para pemimpin adalah wilayah eksklusif-elitis, yang penuh dengan ornamen dan simbol-simbol, full of presticious. Kendati yang lebih kuat pada ranah tersebut adalah muatan politisnya.

Banyak diantara kita, yang manakala telah berada dipuncak, dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki tidak segan-segan bermain-main dengan lingkaran itu. Membuat aturan sampai mengeluarkan keringat kemudian dengan sadar mengajak untuk bersama-sama melanggarnya. Pola menciptakan game seperti ini hampir dipastikan menjadi kebiasaan kita dan sangat tertatih untuk mau mengubahnya. Akibatnya, kita dianggap sangat kekanak-kanakan tidak mau mendengar nasihat yang sehat demi kemaslahatan bersama.

So What Can You Do With Your Country? Awal-awal membangun Indonesia, Soekarno-Hatta selalu membumikan pernyataan tersebut, yang ia kutip dari Presiden AS, John F Kennedy. Dengan harapan, semangat yang demikian bisa diwariskan pada kita saat ini. Kita semua paham bahwa membangun kepercayaan masyarakat, membangun mentelitas dan kesadaran aparatur bukan dengan pernyataan, motto dan sesumbar yang penuh dengan retorika dan simbol-simbol. Implementasi yang benar-benar sesuai dengan apa yang telah dimottokan itu yang perlu.

Membangun kepercayaan, mentalitas dan kesadaran adalah sebuah investasi dunia wal akhirat dan itu harus dimulai dari pimpinan, karena kecederungannya apa yang telah difatwakan oleh mereka tentu saja yang lainnya akan nurut. Bagi gerbongnya, ‘fatwa’ difahami sebagai ideologi yang jika tidak dilaksanakan maka akan siap mendapatkan murka.

Ada baiknya kita mengedepankan prinsip investasi adalah investasi, bukan investasi adalah politik. Manakala investasi diarahkan hanya semata-mata pada persoalan politik maka tamatlah ia. Bersegeralah untuk menghadapi pergolakan, pengerahan massa yang tentu saja akan berbuntut pada pengerusakan fasilitas dan pertumpahan darah. Hukum yang kita anut menyatakan, apa pun bentuk pengerusakan merupakan perbuatan anarkis yang melawan hukum. Sama halnya dengan mencurangi hak-hak rakyat demi kepentingan pribadi atau golongan.

Jika saja peraturan yang awalnya dihajatkan untuk menormalisasi tingkah laku dan perbuatan yang dinilai melawan, hanya menjadi pajangan layaknya barang mewah yang dipajang di super market dan toko-toko, apa yang bisa dibanggakan oleh Sang Proklamator tercinta juga masyarakat?

Hari ini melarang kami untuk berbuat sesuatu yang melanggar aturan, beberapa saat kedepan engkau sendiri memimpin yang lainya untuk menghianati. Jika benar-benar engkau tidak mampu untuk menjunjung tinggi supremasi itu maka jadilah pendekar moral yang siap mundur jika nyata-nyata sudah tidak mampu. Politik tak selamanya tidak menawarkan tragedi. Dan itu akan selalu dikenang. Ia akan selalu memunculkan kesangsian bagi siapa saja aktornya.

Seharusnya politik adalah panggung agung, wilayah dakwah untuk menebarkan syair-syair nurani dan siar-siar kemanusiaan sebagai investasi akhirat. Karena semua sadar kita akan menuju pada kematian abadi. Tak ada manfaatnya semakin garang menciptakan game-game keliru demi sebuah titah yang hanya melanggengkan kami untuk tetap awas dengan senjata ’Jangan main-main dengan kelaminmu’.

Jangan Main-main dengan Kelaminmu: Judul Novel Karya Ayu Utami

Lanjut Coyyyy......

WACANA ZAMAN I

karena doa-doa sudah tak bermakna lagi
adakah yang tersisah buat zaman
yang kita tanam dengan nurani
tegar

nurani zaman telah mencakar dalam doa-doa
karena kita saling melautkan nurani sesama
lepas

nurani zaman telah terhunus
tancap nurani doa-doa
karena doa-doa hanya buat
membantai sesama
hanyut tidak
untuk hijau anginku


nurani zaman telah tawari air mataku
karena doa-doa
sudah tak bermakna lagi


Bima 20/12/98

Lanjut Coyyyy......

PELANGI DI MATAMU?


oleh: Dylla Lalat
Jika menyukai seni musik, ada baiknya kita menelusuri syair-syair yang dilagukan kelompok band Jamrud ‘Pelangi di Matamu’ yang lagi In beberapa waktu terakhir. Gubahan syair yang benilai tinggi tentunya, jika kita serius ingin memahaminya sebagai sebuah karya yang lahir dari roh budaya dan kreatifitas. Karena roh budaya dan kreatiftas tersebut tidak bisa dimiliki oleh makhluk lain kecuali hanya manusia.
Sepintas, belajar jujur dengan perbuatan dan perkataan sesuai dengan karakter budaya manusia adalah antara lain yang bisa dipetik dari syair tersebut. Mereka hadir menawarkan kesejukan dan bukan perlawanan fisik. Mereka mengajak agar terus menjaga budaya saling menghargai untuk tidak munafik, menipu diri sendiri yang tidak sesuai dengan budaya ketimuran kita.

Jika ingin sesuatu maka sampaikan dengan santun dan tidak berliku-liku. Tidak diawali dengan melempar joke bersifat kekanak-kanakkan, agar sama-sama enak dan bisa saling menerima. Menyampaikan maksud yang baik bukan hal yang diharamkan dalam proses kehidupan manusia yang memiliki kejelasan ideologi. Asas keseimbangan dan sinergitas terhadap tugas, fungsi dan kewajiban bagi siapa pun pada lini-lini kehidupan berbangsa bernegara dan berdaerah menjadi yang utama dan prioritas. Karena siapapun kita adalah sama. Dan jika saja ada perbedaan niscaya hal tersebut betapa indahnya kalau saja ditempuh jalur musyawarah mufakat agar kita saling kenal mengenal.
Eforia saling menelanjangi di dua lembaga (eksekutif dan legislative) kini mencuat hangat memekakan telinga. Tidak jelas target dan tujuannya apa. Namun yang jelas, sandiwara yang disuguhkan tersebut hanyalah ingin memperoleh legitimasi dari masyarakat. Agar dapat dianggap bahwa para pelayan masyarakat itu telah bekerja maksimal sesuai amanat dan hati nurani rakyat.
Kesimpang siuran materi sinyalemen yang diretas beberapa anggota dewan terhadap dugaan adanya kebocoran SPPD dan sikap represif terhadap kebijakan pengadaan mobil Ranger serta beberapa item kebijakan eksekutif lainya menjadi hal penting yang perlu ditelusuri bersama. Namun tidak berarti bola yang dilempar tersebut adalah bola mati sebagai sebuah keputusan yang ditafsirkan sebagai proses menjustifikasi.
Dugaan itu sebaiknya dijadikan sebagai jalan atau informasi pembuka agar bisa ditelusuri apa sebenarnya dan sesungguhnya terjadi. Legalitas formal dan secara kelembagaan suara anggota Dewan yang konon juga sebagai bagian dari panitia anggaran tersebut harus diapresiasi sebagai langkah ingin meluruskan persoalan yang terjadi, ketimbang bermain dengan informasi dan isu-isu palsu yang tidak layak dihembuskan oleh figur-figur yang ada di lembaga terhormat kemudian dikonsumsi oleh masyarakat yang selayakanya kita didik dengan sikap dan karakter berpolitik yang sehat.
Sebagaimana yang diberitakan, bahwa nilai SPPD-gate tahun 2006 yang diributkan tersebut jelas tidak sedikit, luar biasa fantastisnya menembus angka miliaran rupiah. Artinya, hasil kerja eksekutif masa bakti tahun lalu dengan sendirinya telah sukses melewati uji publik, verivikasi dan evaluasi secara administrasi maupun secara kepatutan dan kelayakan sebagai sebuah laporan pertanggungjawaban. Kendati implementasi LKPJ pimpinan daerah di seluruh Indonesia langsung pada Gubernur, namun mustahilkah tidak dihiraukan apa yang menjadi usul saran legislatif sebagai pengawal jalannya pedati eksekutif.
Makna sebuah hubungan kemitraan antara legislatif dengan eksekutif adalah sebelum eksekutif mengeluarkan kebijakan sudah otomatis harus meminta restu dari lembaga legislatif kendati secara tekhnis dan modus operandinya tidak banyak masyarakat yang tahu. Langkah pemerintah adalah juga langkah Dewan yang menjalankan fungsi sebagai pengontrol dan pengawal. Dan pengawal yang baik dan benar adalah yang mau menegur jika dianggap keliru dan mengingatkan jika dianggap telah melampaui batas. Bukan saling menelanjangi kendati jalanan tersebut telah sama-sama dilewati dan dinikmati.
Bagaimana dengan SPPD-gate tahun lalu itu? Apa target yang ingin dicapai leglislatif yang tiba-tiba saja beringas terhadap langkahnya sendiri bersama eksekutif?. Ada pendapat mengatakan bahwa tidak semua hal bisa dijadikan komoditas politik. Dan siapa pun punya hak untuk mengeluarkan pernyataan dan pendapat. Bahkan untuk benda pendapat pun sah-sah saja adanya. Yang tidak diperbolehkan adalah berpecah belah yang mengarah pada disintegrasi demi menjunjung tinggi penafsiran yang salah dan egoisme kubu-kubu.
Semua lakon yang dipertunjukan bukan episode yang tidak bisa dituntaskan. Yang mesti dipelajari dan dikaji ulang agar tidak dianggap orang bodoh adalah sikap mempolitisasi yang tidak semestinya dipolitisir. Karena apa yang dilempar kepermukaan tidak semua masyarakat mampu mencernanya. Malah yang mesti diwaspai adalah munculnya kebingungan masyarakat yang mengarah pada reaksi berlebihan lalu ujung-ujungnya adalah instabilitas daerah.
Pembentukan panitia khusus yang diisi oleh orang-orang yang capabel dan memahami tugas yang diamanatkan, merupakan langkah terpuji untuk menelusuri jejak yang diisukan. Dan langkah itu merupakan prioritas yang dilakukan oleh Dewan. Kemudian untuk mendukung kinerja tim, keterbukaan menjelaskan hal yang sebenarnya oleh pemerintah selaku pelaksana pemerintahan sangat dipuji demi meluruskan kesimpang siuran isu-isu tersebut. Tentu dalam hal ini, kita semua tidak ingin dikatakan setengah hati dan menjadi kelompok manusia bodoh dan pintar bersandiwara. Biarlah nanti masyarakat sendiri yang menilai siapa yang layak di bagaimanakan dan yang pantas dijadikan apa. Mumpung semangat reformasi di segala leading sektor di negara ini masih sangat hangat-hangatnya.
Memang benar, dunia adalah panggung sandiwara. Semua peran maupun yang diperankan memiliki kesempatan yang sama untuk menghidupi atau mematikan, mengisi atau mengosongkan hakikatnya. Segala cipta maupun yang diciptakan akan lenyap ketika batas-batas panggung sandiwara itu juga lenyap. Tubuh dan benda-benda bergerak dalam ruang dan waktu yang sama untuk menempuh eksisitensi yang bersifat temporal. Sedangkan jiwa dan pikiran dapat bergerak tanpa batas, melebihi ruang dan waktu untuk merengkuh transedensi yang bersifat spititual.
Pola kemitraan legislatif dan eksekutif jangan dilihat hanya tiga puluh menit saja. Kehadiran dua lembaga, berikut awaknya tidak lain merupakan satu kesatuan yang layaknya mobil dan bensin; saling asah dan saling asuh. Jangan memaksakan diri untuk tidak jujur pada diri sendiri apalagi bersikap munafik (double standar). Sesungguhnya kemunafikan itu akan mendekatkan kita pada kekufuran. Tiga puluh menit bukan waktu yang pendek untuk merekonstruksi kembali nalar dan logika kita agar menjadi hamba Allah yang takut untuk bersandiwara, menebarkan lakon-lakon palsu.
Atau //mungkin butuh kursus// merangkai kata/// untuk bicara//dan aku benci///harus jujur padamu//tentang semua itu///...........................//. Atau barangkali pelangi di matamu benar-benar semakin redup, sehingga hanya mampu menyentil yang palsu-palsu saja.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima. Email:dylla18lalat@yahoo.com
Lanjut Coyyyy......

TANO LINTAS TEPIAN SENJA

bersama ombak
kita beranjak rangkul tepian

buih memercik
seperti senyum tatap kita
hingga laut berkabar pada karang


saat lintas tepian senja
rindu kita tergembok
sebelum kini

tapi terurai bersama malam
berpayung rembulan

lalu gemintang tatap bukti


Alas, 23/02/98


Lanjut Coyyyy......

NEGERI ANEKDOT ?

Minum air jangan dikunyah, makan nasi jangan diminum. Sebuah ungkapan yang mengandung makna dan interpretasi yang berbeda-beda. Kendati dalam kamus, sudah ada makna dan artinya yang baku. Ada anggapan bahwa adanya perbedaan tersebut menunjukan bahwa manusia dalam hidup dan kehidupan disepanjang hayatnya tidak akan pernah menemukan kesepahaman. Selalu saja ada perbedaan.
Akibatnya, mengatur atau mengurusnya pun sangat sulit, bahkan dianggap lebih mudah mengatur hewan piaraan. Adanya perbedaan dalam pandangan manusia, juga dibuktikan dengan bahwa sejak awal-awal rencana penciptaanya terjadi pertentangan dan perbedaan pendapat yang luar biasa antara malaikat dengan Sang Yang Maha kreasi; Al-Khalik.
Tidak bisa disangkal bahwa manusia dilahirkan dengan karakter yang melekat pada diri masing-masing. Tentu saja karakter tersebut sangat jauh berbeda dengan karakter makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dua karakter itu yang selalu menyertai kemana pun mereka pergi dan menjadi pondasi jika saja mereka tidak ingin dianggap sebagai manusia yang berprilaku berbeda dengan manusia kebanyakan.
Persoalan moral dan mentalitas seperti itu menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Bahkan ada sebagian asumsi menyatakan, persoalan moral selain telah memasuki ruang-ruang publik juga sudah memasuki ruang-ruang privacy, meja-meja dinas para birokrat dan non birokrat dimana pun mereka di muka bumi ini.
Harus diakui mencari batasan antara prilaku yang baik dan buruk memang gampang-gampang susah. Sebagai salah satunya, ia bisa dijelaskan dengan pandangan umum yang berlaku di masyarakat. Karena, jika saja mengacu pada aturan yang benar-benar sesuai dengan hukum, norma dan aturan perundang-undangan Negara akan semakin tidak bisa seia-sekata. Karena, produk aturan itu sendiri mestinya ditaati bukan dilanggar atau dilawan. Sehingga akan terjadi normalisasi dari hal yang kecil sampai yang besar.

Saking semakin tidak adanya batasan antara baik dan buruk yang di dalamnya juga termasuk mental keserakahan dan kerakusan maka tidaklah berlebihan penulis sedikit berburuk sangka, bahwa kita laksana hidup pada sebuah negeri yang di dalamnya penuh anekdot. Ngalor ngidul tidak karuan penuh kamuflase umbar janji sana sini, tidak jelas yang mana esensi dan yang rekaan.Semuannya semakin tidak menentu.
Parahnya lagi kita lebih bingung memetakan yang mana layak dan memenuhi standar rasionalitas kita sebagai manusia rasional yang mengedepankan hati nurani. Mestinya pada kondisi kekinian kita, hal-hal yang mengarah pada prilaku irasional tersebut tidak perlu membusungkan dada untuk mencernanya dan mengernyitkan dahi untuk memahaminya. Karena bagaimana pun, yang dapat mengganggu harkat dan martabat ummat mestinya dapat diperangi. Walau pun pada dasarnya dibutuhkan kesadaran kolektif untuk mewujudkannya.
Minum air jangan dikunyah, makan nasi jangan diminum adalah sebuah suasana, ilustrasi dan instrumen yang memungkinkan kita menggauli dan mendekati sesungguhnya yang terjadi di daerah ini agar pada ujungnya nanti kita tidak terjebak secara berjamaah. Frekwensi membumikan tekhnik dan strategi politik apa pun namanya tidak sebanding dengan ditelorkannya strategi atau program yang bisa diterima masyarakat untuk kelanjutan hidup dan pencaharian mereka.
Kita semua faham masyarakat butuh pencaharian yang berkelanjutan dengan rumus pengelolaan yang sederhana, baik, transparan dan mudah dipahami oleh mereka sendiri. Logika masyarakat adalah bagaimana mereka bisa beribadah dengan khusuk, mencari makan yang cukup untuk bisa bertahan satu atau dua waktu (baca: siang atau sore), tidak membutuhkan yang bombastis. Begitu bombastinya hal-hal yang dianggap pemali tidak lagi bernilai pemali. Padahal hakekat pemali adalah bagaimana kita bisa menahan diri agar tidak selamanya dikendalikan oleh nafsu dan birahi yang meruntuhkan moral kita selaku manusia personal, kelompok dan atau dependent Human Being.
Kesederhanaan dan keluguan cara berpikir masyarakat tersebut, memungkinkan mereka untuk dengan serta merta menelan muntah-muntah sesuatu yang kita anggap sebagai hal yang bersifat coba-coba, tidak real atau bahkan sebagai kelinci percobaan. Dan mereka sama sekali tidak tahu dan tidak memahami hal itu. Kita bernar-benar mengajak mereka untuk tersesat bersama-sama yakni mengunyah ketika minum air dan meminum ketika makan nasi.
‘’Negeri Anekdot negerinya para Pemimpi’’,ujar salah seorang anggota DPRD Kabupaten Bima, saat berdiskusi dengan penulis dan teman-teman wartawan, di gedung Paruga Parenta, beberapa waktu lalu. Tidak hanya berargumen seperti itu, Anggota Dewan, yang dikenal dekat dengan para aktivis dan teman-teman media tersebut juga mengomentari pemberitaan di harian lokal yang menurunkan berita; demo menolak tambang mangan di Kecamatan Woha, perkelahian antar kampung (Desa Ngali, Renda dan Monta), pembuatan taman kota yang dinilai merampas ruang publik dan simsalabim APBD Kabupaten Rp 2,5 M untuk salah satu perguruan tinggi swasta dan perselingkuhan pejabat.
Menurutnya, Indonesia hari ini, sudah diisi oleh orang-orang yang senang bermimpi, termasuk mahasiswa yang melakukan aksi tersebut. Mereka menginginkan agar sesuatu yang mereka usung segera terealisasi tanpa memahami prosedur dan mekanisme yang berlaku dalam internal birokrasi. Mereka memaksakan sesuatu yang tidak seharusnya dipaksa-paksakan bahkan menuding telah terjadi krisis pada level pelaksana system.
Demikian pula halnya mereka yang telah maupun yang akan mengisi posisi pemimpin. Seharusnya, kata anggota dewan tadi, orang-orang itu harus pintar-pintar dan lebih serius menatap kedalam diri mereka agar tidak memaksakan untuk mengejar tahta. Kalau saja tetap dipaksakan maka akan berakibat meruncingnya krisis legitimasi yang tentu saja akan sangat memalukan gerbong yang berjejer dibelakangnya.
‘’Apa yang kita harapkan dari generasi yang senang mengejar mimpi?,’’katanya.
‘’Bukankah ini bukti kegagalan pelaksana system,’’nyeletuk salah seorang teman wartawan. ’’Berbicara kegagalan, semuanya gagal. Mulai dari pemerintah yang membangun komunikasi sampai pada mahasiswa yang tidak mampu memahami mekanisme birokrasi,’’ lajut mas Dewan itu.
Lalu sedemikian parahkah keadaan yang dialami oleh daerah ini? Membangun harus diawali dengan nawaitu ingin mengubah. Mengubah misalnya dari angka satu menuju angka dua dan seterusnya. Nah kalau saja yang diubah tidak mengalami perubahan atau tidak bergerak apalagi berjalan ditempat bahkan mundur bagaimana jadinya.
Membangun dalam arti luas adalah bagaimana sesuatu itu bisa bermanfaat bagi sesama atau bahkan bukan sesama sekali pun (baca diluar makhluk manusia). Artinya dalam konsep membangun semua kekuatan harus mengambil bagian dan dilibatkan. Sehingga menjadi pembangunan partsipatif. Dan pembangunan partisipatif tersebut harus didukung oleh kekuatan sumber daya manusia yang berkualitas. Misalnya, ketika diberi tugas untuk membangun jalan dan jembatan maka ia tahu dan faham bagaimana konstruksi dan mencampur agar menghasilkan jalan dan jembatan yang berkualitas. Ketika diserahi tugas untuk membangun moral dan pendidikan maka ia tahu dan faham bagaimana rumus, taktis dan strategi termasuk penempatan tenaga pendidik yang capable sesuai kualifikasi akademik yang sehat agar bisa menghasilkan generasai yang bermoral dan perpendidikan.
Gerakan membangun dan mengubah mental dan prilaku bukan sesuatu yang mudah, itu pemahaman yang umum berlaku. Namun tidak ada sulitnya kalau saja semuanya berusaha dan bangkit bersama yang digerakkan oleh pemimpin. Fungsi manajerial mereka harus benar-benar dimaksimalkan demi terwujudnya iklim tata kelola yang sehat menuju harapan dan cita-cita perubahan. Perbedaan bukan dijadikan kekuatan untuk saling melawan, melainkan cahaya yang akan menerangi untuk bangkit melawan hegemoni prilaku yang buruk.
Anekdot adalah cerita yang meninabobokan. Ia bisa diartikan dengan cerita lucu, dongeng, perumpamaan atau cerita hayalan. Biasanya, kita fungsikan untuk menghantar tidur putra-putri kita agar lekas pulas. Dan rupanya yang membutuhkan tidur pulas bukan saja putra-putri kita melainkan kita semua pun butuh. Hanya saja tinggal memilih, tergantung kesenangan masing-masing. Teruskan atau bangkit menuju perubahan?!

Dylla Lalat: Ketua Konumitas Seni dan Sastera Indonesia (KOsenTrasi) Bima
Emaill: dylla18lalat@yahoo.com
Blog:dylla18lalat.blogspot.com






Lanjut Coyyyy......