dylla lalat

MELUKIS KEGELISAHAN LEWAT SASTRA MEMBUSUR RUHANI MELALUI PENA

Bangkit Bimaku, Hadang Koruptor

Sejarah tidak akan pernah sakit. Ia akan selalu menjadi cermin bagi siapa saja yang merasa diri memiliki negeri ini. Sejarah laksana mutiara yang selamanya akan berkilauan. Berkilau pada paru-paru anak zaman agar tidak terperosok pada lembah hitam.

Sejarah seratus tahun silam dibangkitkan lagi. Anak bangsa mulai dari Sabang sampai Merauke menyuguhkan aneka seremonial untuk penyambutan hari kebangkitan ini. Walaupun kenyataannya, hingga kini kembangkitan kita tidak utuh dan bersama lagi. Beberapa pulau telah menempuh jalur kebangkitannya sediri. Ia memilih harus pisah dari NKRI, dan tidak perlu dicari siapa yang salah dan siapa yang benar. Itulah sisi lain dari sebuah sejarah yang dibangun dengan tidak adanya keutuhan jiwa dan raga. Mengedepankan pemikiran dan ego politik individual destruktif ketimbang kebersamaan menyelaraskan pemikiran dan musyawarah untuk penyelesaian persoalan dan sengketa.

Kebangkitan. Hari ini, seratus tahun silam dengan keutuhannya Indonesia memekik tanda berbangkit. Gugusan pulau-pulau yang tidak pernah sendiri itu mengambil peran masing-masing untuk mengukuhkan diri bahwa mereka tetap menjadi warga NKRI sampai kapan pun. Kebangkitan itu, menjadi titik awal dan gong perjuangan untuk mengusir segala kolonialisme. Penjajahan yang tidak henti-hentinya merongrong terutama dalam tubuh dan akal ke-Indonesia-an kita.


Sebuah unit kehidupan dari yang terkecil seperti individu dan kelompok masyarakat pada umunya harus dijadikan nilai dan modal untuk melawan bentuk-bentuk koloni yang menghantui. Sebab, tidak ada penjajahan yang lebih dahsyat selain yang muncul dalam pikiran dan tubuh anak negeri sendiri. Penjajahan, yang berubah bentuk menjadi ‘mentalitas’ ingin mengkorup, menipu, merampas dan berpura-pura memperjuangkan hak-hak anak bangsa yang lebih tidak berada dari kita, tanpa dikomando harus sama-sama dilawan. Memang benar apa yang dibahasakan oleh orang-orang bijak ‘ketidak beradaan akan mendekatkan pada ketidak berdayaan dan ketidak berdayaan akan mudah diperdaya oleh bukan saja orang asing melainkan oleh orang dalam pun demikian. Padahal mereka yang selama ini kita anggap sebagai pelindung dan pengayom tempat segala duka bermuara.

Kita tahu bahwa, siklus medan jajahan bukan tidak mungkin dapat diisolir sepanjang pemujaan secara kolektif sadar akan ‘ada’ hak mereka yang lebih tidak berada tersebut. Tidak ada amalan yang lebih nikmat kecuali ikut merasakan duka nestapa para jiran dan mereka yang lebih tidak berada dari kita.

Berbagai modus operandi ‘menjajah’ sudah jamak ditemukan. Bahkan mengalahkan hukum perundang-undangan yang kita dianut sejak dibangkitkannya negara dan bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika ini. Menjajah untuk skala kecil maupun skala besar yang tentunya juga overloping pada lembaga-lembaga formal maupun nonformal semakin membuhul saja. Bahkan untuk memperhalus bahasa dianggap sebagai sebuah ‘budaya’. Padahal itu bukan persoalan budaya melainkan mental atau moral orangnya yang memang sudah tidak beres. Rentang waktu seratus tahun sejak Indonesia bangkit, pemaknaan dan pemahaman ‘budaya’ berbeda-beda. Loncatan dari generasi ke generasi itu, makna ‘budaya’ semakin dipolitisir, dikabur-kaburkan, dikambing hitamkan bahkan dijadikan alibi ketika disudutkan pada sebuah persoalan.

Pemahaman budaya dari generasi pertama sejak bangkitnya Indonesia sangat juah berbeda dengan yang dipahami oleh generasi modern metropolis. Oleh generasi pendahulu ‘budaya’ diartikan sebagai semangat untuk bangkit, berjuang membela panji Indonesia yang Pancasilais, bermartabat dan berteposoliro. Sehingga nilai-nilai ke bhinekaan walaupun berbeda-beda namun tetap satu dan utuh. Budaya, dijadikan senjata untuk berperang mengusir koloni, melawan prilaku monopoli dalam segala hal dan betapa malunya kalau saja dinyatakan kalah.

Sedangkan bagi kita sekarang ‘budaya’ dipahami sebagai kebiasaan untuk memperluas wilayah koloni. Padahal sebuah budaya lahir dari inidvidu atau kelompok masyarakat tertentu yang sifatnya begitu indah dan syahdu tidak bisa dicampur adukan dengan sesuatu yang hitam. Logika siapa yang bisa mensinerjikan; seiring sejalan antara yang kasar dengan yang halus dalam waktu yang bersamaan? Kendati manusia selaku pabriknya ‘budaya’ memiliki potensi untuk itu.

Sebuah idealisme tidaklah cukup sakti untuk memberantas potensi bahkan yang resmi telah mejadi koloni tersebut. Langkah yang paten dilakukan harus diawali dari yang memiliki otoritas. Mereka harus lebih sadar, tahu diri dan jujur memandang bahwa wilayah kekuasaanya bukan sebagai wilayah atau medan untuk mengkorup.

Belum pernah ada di dunia ini yang memiliki otoritas kekuasaan dapat memanfaatkan wilayahnya demi memberantas hal-hal yang merugikan. Malah cenderung bersekutu menghancurkan tatanan yang diperoleh dengan cucuran darah. Perjalanan masih panjang dan kebenaran tidak selamanya berada pada dirimu yang memiliki otoritas dan kekuasaan.

Bagaimana baiknya melanjutkan abad kebangkitan ini terutama untuk tanah Bima? Adakah harapan bagi mereka yang selama ini belum diuntungkan secara ekonomi, politik, pendidikan dan budaya atau mereka yang dimiskinkan oleh sebuah policy tertentu?

Tanah Bima adalah Indonesia. Mulai hari ini, siapa pun dia harus mulai bangkit mengisi yang masih kosong dan menambah yang dianggap benar-benar masih kurang. Kebangkitan Indonesia adalah juga kebangkitan tanah Bima. Kerisauan untuk tidak mendapatkan apa-apa pada tempat dimana kita mengisi hidup tidak perlu dianggap sebagai petaka. Dimana kita berdiri disitulah tempat kita berjuang. Jabatan dan posisi tertentu hanya tempat untuk meneruskan perjuangan.

Dari catatan sejarah, Tanah Bima adalah bumi yang makmur. Isi alamnya melimpah ruah. Sistem pemerintahan dan pola distribusi kepercayaan kepada masyarakat diakui dunia. Olehnya itu saatnya kini, semua sektor harus digerakkan secara maksimal agar tidak mengecewakan kelompok-kelompok yang sebenarnya menjadi fokus. Sektor unggulan harus benar-benar dijalankan oleh tenaga profesional yang lebih mengutamakan kinerja dari pada memark-up atau mengkorup anggaran yang dibutuhkan. Pola pemaksaan penempatan tenaga yang dipaksakan harus profesional bukan langkah tekhnik strategis apalagi menempatkan tenaga yang tidak proposional.

Era kebangkitan mesti mengedepankan pola profesionalisme karena kedepan abad akan semakin berlari dengan segala nilai kompetitifnya. Apa yang ada harus dilihat sebagai awal menuju ujung yang lebih sehat dan bermartabat. Apa yang bisa diperoleh kalau saja seratus tahun kebangkitan kedepan hanya mengejar hal-hal yang populis tak berisi. Program siluman yang menghipnotis masyarakat lebih baik tidak dilakukan sama sekali dari pada tidak memiliki nilai manfaat bagi masyarakat dan dianggap sebagai lips-service.

Yang diutamakan bukan fisik proyeknya, akan tetapi bagaimana proses dan kemampuan untuk menahan mental koloni kita agar anggaran benar-benar untuk pelaksanaan proyek. Selama ini yang biasa dilakukan adalah anggaran proyek lebih banyak dibagi-bagi oleh unsur pemiliki yang ada dalam institusi tertentu dengan kontraktor, ketimbangkan anggaran untuk mengerjakan proyek yang sesungguhnya. Akibatnya, kualitas pengerjaan tidak memenuhi standar yang ditentukan. Membangun bukan lagi merujuk pada bestek. Mekanisme dan tata cara yang manusiawi selama proyek digulirkan sama sekali tidak dilihat sebagi ketentuan yang utama.

Sekecil apa pun, mental-mental korup seperti ini tidak boleh dibiarkan dan selamanya akan sangat menggangu. Esensi sebuah perjuangan untuk bangkit adalah ada pada nilai kebersamaan yang proporsional bukan lebih banyak porsi untuk diecer-ecer tak ternilai. Pemetaan dan pemberlakuan quality controle demi mengukur seberapa program yang telah dijalankan segera diberlakukan. Hal itu untuk menghindari adanya tumpang tindih satu sama lain.

Seratus tahun silam Indonesia Bangkit. Indonesia adalah Bima. Dua Pemerintahan otonom (Kabupaten dan Kota) tengah bermanja-manjaan dipelukannya. Keseriusan menoreh tinta kebangkitan secara keseluruhan belum nampak berani, masih malu-malu. Semua nahkodanya dalam hal ini eksekutif, legislatif dan yudikatif masih senang bermain-main dan menyelam di air keruh. Mereka kurang awas kalau saja tiba-tiba penyakit menyerang.

Nahkoda yudikatif, yang benar-benar bersalah tidak serius ditangani sehingga gampang dianggap ‘hukum bisa dibeli’. Nahkoda legislatif, ketika diminta mengurus dan menjembatani kebutuhan masyarakat malah serius ngorok sendiri di meja sidang bahkan (maaf) ada anggapan engkau lebih senang ngorok dengan wanita penghibur. Masyarakat memang selamanya hanya dijadikan titian yang harus diinjak-injak. Demikian pula nahkoda eksekutif. Masyarakat hanya diberi harapan kesejahteraan toh nyatanya kesejahteraan cukup buat keluarga dan kolega. Persoalan politik lebih diutamakan ketimbang mengratiskan apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Grafik masyarakat yang benar-benar miskin dari ujung ke ujung semakin meningkat.

Sedemikian mudahnya bermain-main dengan formulasi ‘koloni’ maka menjadi publik figur atau yang populer dengan pemimpin atau yang lebih terkenal lagi dengan penguasa menjadi dambaan semua orang.

Hari ini sejarah tidak boleh mati. Ia harapan tanah Bima, laksana mutiara tetap memancarkan energi untuk melawan. Bangkit Bimaku, hadang koruptor.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima. Email:dylla18lalat@yahoo.com

Lanjut Coyyyy......

Malam Salju

sejak alfatiha merangkum tangga
penuntun nadi

mendebulah asap di bumi sendiri
yang telah mewajahi
menggetarlah ayat-ayat yang selalau
merakusi
pena malaikat rakib

sejak alfatiha merangkum getar nadi
melumpuhlah pembual
kebenaran abadi
merangkaklah penghamba
berhala-berhala zaman

sejak alfatiha
merangkul tangga nadi
betapa gemetar nadi bumi
oleh cahaya abadi

bima, 7/01/2000
Lanjut Coyyyy......

Metamorfosis Pengabdian

masih banyak rahasia yang akan ditafsirkan
sejak ziarah mulai kusanggupi
keterasingan membelah musim
menjadi metamorfosis pengabdian
dan tetap saja merangkul legenda

walau telah lama belajar menjadi rumput
sekedar memahami cuaca dan percakapan alam


kabari saja tentang pematang
yang akan kita pijaki wahai adinda
bukan sebuah potret palsu yang justru
tak mampu kita bawa pulang


Wawo 08/04/2002

Lanjut Coyyyy......

pulang Berlayar

Pulang berlayar
betapa perahu yang kusimpan di laut seberang
masih meretas misteri
namun sekarang tetap saja kutempuh
kendati lagu gelombang susah dijinakkan

dileher waktu kutahu ia tidak hanya belajar memahami
sandi yang aku selempangkan seorang diri

melainkan keangkuhan pria perkasa yang
selalu mengajak berdansa lalu
berlabuh

wahai adinda
topan itu terus memburu
menggilas sandaran
kendati kita tahu mereka pernah melepas kita
melaut bersama
tantang keangkuhan


Bima/13/05/2002

Lanjut Coyyyy......

KEMAS SYAIR CINTA USAI PERJALANAN PANJANG

-:Mitha

syair cinta baru saja kurampung
dengan legenda telaga bidadari
pada pelepah bukit usai perjalanan panjang

ia telah kukemas rapi bersama
gelombang yang angkuh
tapi ia tidak sombong

sebelum sujud di tepi pulau
kuterima salam cinta yang kau kirim
lewat isyarat tanah
ia begitu syahdu merapat
hingga aku tidak ingin pulang sendiri

adinda
lembah yang membingkai pergolakan
tak mesti memberi salam terakhir
apalagi mengusung luka
tak terlampiaskan
karena di bukit itu
rumah dengan dinding syahadat sah milik kita



bajo pulau 17/03/2002

Lanjut Coyyyy......

Lukisan Tanpa Warna

-: adik eng, yoyo, dea, ocha dan ripan

kuas yang akan melukis di danau
keabadian cintamu
belum tuntas mewarnai sketsa pergolakan


tetaplah dijaga walau dengan selendang
yang kau petik dari keangkuhan gelombang
peradaban dan mengotori tanah adat
dengan jemari hati

kucium lukisan dengan sebaris
mantra kelanggengan
karena menurutku musim akan
segera datang lalu mewarnainya

dindaku
tetaplah merangkul dengan segenap cinta kasih
pahat diriku dengan sehelai uban

setelah malam pengantinmu nanti

Bima 18/02/2002

Lanjut Coyyyy......

SAJAK BUAT MITHA

Bima/13/05/2002

SAJAK BUAT MITHA I

meski telah kukalungi kau dengan ayat-ayat suci
disini hari tetap saja tak mampu membunuh cemburu
pada siapa ia akan ditaburkan ?
jejak masih membaca kegaiban
kendati kau pernah mengunci
agar di rumah itu tidak ada lagi yang
mesti dipertentangkan
“ ilalang memang jahat, “ katamu
“ iya, tapi bukankah ia akan selalu tumbuh
mengotori rumah kita, “ kataku sembari mengajakmu
menata rencana tentang kerinduan akhir


Sape/25/05/02

SAJAK BUAT MITHA II

Di atas bus dalam perjalanan pulang
tak akan pernah aku pahami
kalau saja percakapan kita
mendulang kabut tengah hari
sebab, meski tak cukup kuat landasan
perjalanan untuk mementalkan
rimba gelap itu

kita akan tetap sanggupi
menyalakan lampu-lampu
karena, kutahu gerimis subuh nanti
akan lekas kita jamu dengan syahadat
sebagai kado perjumpaan


mitha, kita tak hendak dibusur
gelap ditengah jalan
kendati isyarat kabut memahat di kaca jendela


Bima/19/06/02

SAJAK BUAT MITHA III


-:selamat ulang tahun

komedi romawi tentang pujangga yang ajaib
belum lama kutanggalkan
dari puncak misteri,
kendati badai di pematang usia merajut buih


penjelajahan dari katedral
sekedar membunuh kejemuan
belum mampu menjawab,- akankah langit lekas
bertobat dan bersujud ?


kegaiban masih paripurna,adinda
sedangkan sebuah situs kelanggengan
tetap kumaknai bahwa jalan ini memang
masih misteri


Bima/06/09/02


Lanjut Coyyyy......

DUA PUISI

NOSTALGIA II

telah lama aku membantu karang

dalam kamar kita ini, sayang

sunyi terus meruncing saja

percintaan kita dimusim penghujan kemarin

hanya berlayar saja pada kedua keningku

“ aku mungkin akan menjemputmu

di musim penghujan esok, “

telegrammu yang telah aku terima pagi tadi

“ semoga saja terkabul.”

do’aku mendamba

Bima/16/03/99




TAPI AKU, TAK MENDAMBA

TIDAK BUATMU

“tapi aku tak mendamba,tidak buatmu”

engkau menuntasi aku

dari lingkaran sepotong bulan

yang mencicini

bumi batang diri


Bima/12/05/99


Lanjut Coyyyy......

Satu Jam Jadi Anti Korupsi

Sistem Administrasi dan Manajemen pemerintahan yang dikembangkan oleh para penyelenggara pemerintah di wilayah Kota Bima menarik kita cermati dan telusuri. Kenapa tidak, fakta yang bergolak tidak ubahnya dengan apa yang tengah berlangsung di Negara Timur Leste alias Timor-timur. Disana sini terjadi kebocoran. Saling tuding yang terlibat dengan yang tidak terlibat menjadi polemik tanpa ujung dan bukan lagi hal yang memalukan.

Roda perekonomian berjalan setengah-setengah. Pendidikan politik yang dihajatkan bagi masyarakat lari keluar lintasan yang telah ditentukan. Hukum dan perundang-undangan yang ditetapkan agar terwujud rasa berkeadilan berubah menjadi mesin pembunuh. Tentu saja kesemuanya itu akan mengarah pada dendam tanpa ujung.

Aksi demonstrasi dengan mengusung kepentingan masing-masing, bukan lagi menunjukan show of force dalam pembelaan hak-hak masyarakat, melainkan yang terselubung adalah upaya pengusiran disertai dengan penekanan terhadap orang-orang tertentu karena dianggap telah menodai hati nurani rakyat. Rakyat yang mana? masih harus dipertanyakan kejelasannya.


Rakyat sering kali menjadi kambing hitam dan adakalanya pula menjadi senjata demi memuluskan target-target politik tertentu. Sebuah prinsip dan perjuangan berpolitik yang sering dipertontonkan oleh para pejuang politik yang telah mengidap penyakit over paranoid. Akibatnya, saling menghargai bukan lagi yang prinsipil dan pengakuan kelebihan dan keunggulan orang diluar diri tidak dianggap. Sehingga kuat dugaan, mungkin hingga ratusan tahun ke depan bangsa ini tidak akan mencapai budaya unggul (excellent culture) sebagaimana yang diharapkan bersama.

Belum pudar dari ingatan, yel-yel anti korupsi digelorakan secara terbuka, ditandai dengan penandantanganan MoU anti korupsi. Empat unsur (Pemerintah Kota, Kejaksaan, Kepolisian dan DPRD) yang disinyalir paling banyak mengidap penyakit kriminal tersebut ikut dilibatkan. Luar biasa tentunya demi prinsip stand to change, berdiri untuk perubahan.

Saking serisusnya, puluhan meter spanduk berikut baliho ukuran super jumbo dipasang didepan mata agar disetiap inci langkah kita akan selalu diingat bahwa mengkorup adalah prilaku yang sangat jahat. Namun, anehnya, semakin banyak aturan dan kesepakatan yang diciptakan semakin banyak dan sopan pula modus operandi bagaimana mengkorup.

Hingga kini status uang rakyat senilai Rp 16,5 M masih dipolemikkan. Layaknya berita-berita siur para artis dalam infotainment. Selalu menghebohkan. Para wakil rakyat di lembaga DPRD Kota Bima tidak memiliki nyali untuk bersikap, apakah mereka yang punya atau bukan. Yang jelas uang senilai itu tidak mungkin dihabiskan sendiri oleh pemulung atau manusia tua yang keseharianya sebagai pemecah batu dilereng-lereng gunung. Lucunya bukan kepalang. Setelah mengkorup rame-rame giliran dimintai pertanggungjawaban tidak ada yang berani. Sungguh ajaib?

Kota Bima adalah Kota Bima dan tidak mungkin berubah menjadi negara Timur Leste. Sebagai catatan bahwa mengkorup tidak mengenal siapa, waktu, tempat apalagi posisi. Malah sebaliknya, semakin bagus tempat dan posisi kita berdiri akan semakin terbuka peluang untuk mengkorup, dari yang kecil hingga yang mega korupsi.

Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap Rp 16,5 M tersebut?

Keseriusan menetapkan dan untuk mengakui bertanggung jawab, belum ada yang nampak. Apalagi bentuk hukum demi statusnya. Lempar tangan demi kejelasan status hukum hanya melahirkan pukul-pukul meja dan aksi demonstrasi mempertahankan pembenaran. Adu kekuatan antara yang pro stutus dengan yang anti status tumpah ruah dijalanan merusak pandangan.

Menanam sejengkal kebaikan sama dengan mengharapkan seribu harapan. Kebaikan dan kebenaran adalah sebuah investasi dan itu masih kurang ditemukan pada para stake holder di wilayah Pemerintahan Kota Bima. Padahal terwujudnya clean governance dan kehidupan yang berkeadilan merupakan cita-cita luhur untuk membuat manusia bahagia. Bukan saja dalam line interaksi sosial, pada line antara hamba dan sang Pencipta pun sangat diperlukan.

Penggalangan kekuatan yang turun ke jalanan demi sebuah kebenaran secara politis sudah tidak layak lagi dilakukan. Eksekutif dan legislatif sudah saatnya mengedepankan rasionalitas berpolitik yang mencerdaskan, karena Rp 16,5 M harus diselamatkan. Jika sekiranya dasar keterangan hasil audit BPK yang menyatakan bahwa Rp 16,5 M itu harus dicarikan statusnya, maka unsur penyidik dari pihak Kepolisian maupun Kejaksaan dan Pengadilan tidak boleh tidak mesti dilibatkan. Kelompok yang dituding telah berbuat curang harus rela menerima dan membuka diri. Karena yang namanya bangkai sedalam apapun ditanam baunya akan tercium pula.

Pemberantasan korupsi, takut dan anti mengkorup bukan hanya pada saat sejam dilakukan seremonial penandatanganan MoU saja. Dan bukan hanya dijadikan konsep politik sebagai alat kampanye karena ingin target tertentu saja. Konsep itu harus dijalankan agar tatanan menjadi indah dan damai. Bayi yang bernama Kota Bima masih belum cukup umur untuk dianiaya. Ia masih sangat membutuhkan orang tua yang mengerti merek susu yang cocok untuk diberikan. Ia bukan Negara Timor Leste yang belum jelas status orang tuanya sehingga dengan sangat mudah bisa diecer-ecer.

Konsep pembangunan yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat sudah saatnya di rilis ulang, jika tidak ingin dituding sebagai manusia yang hanya sejam jadi anti korupsi.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima. Email:dylla18lalat@yahoo.com


Lanjut Coyyyy......

Satu Jam Jadi Anti Korupsi

Sistem Administrasi dan Manajemen pemerintahan yang dikembangkan oleh para penyelenggara pemerintah di wilayah Kota Bima menarik kita cermati dan telusuri. Kenapa tidak, fakta yang bergolak tidak ubahnya dengan apa yang tengah berlangsung di Negara Timur Leste alias Timor-timur. Disana sini terjadi kebocoran. Saling tuding yang terlibat dengan yang tidak terlibat menjadi polemik tanpa ujung dan bukan lagi hal yang memalukan.

Roda perekonomian berjalan setengah-setengah. Pendidikan politik yang dihajatkan bagi masyarakat lari keluar lintasan yang telah ditentukan. Hukum dan perundang-undangan yang ditetapkan agar terwujud rasa berkeadilan berubah menjadi mesin pembunuh. Tentu saja kesemuanya itu akan mengarah pada dendam tanpa ujung.

Aksi demonstrasi dengan mengusung kepentingan masing-masing, bukan lagi menunjukan show of force dalam pembelaan hak-hak masyarakat, melainkan yang terselubung adalah upaya pengusiran disertai dengan penekanan terhadap orang-orang tertentu karena dianggap telah menodai hati nurani rakyat. Rakyat yang mana? masih harus dipertanyakan kejelasannya.


Rakyat sering kali menjadi kambing hitam dan adakalanya pula menjadi senjata demi memuluskan target-target politik tertentu. Sebuah prinsip dan perjuangan berpolitik yang sering dipertontonkan oleh para pejuang politik yang telah mengidap penyakit over paranoid. Akibatnya, saling menghargai bukan lagi yang prinsipil dan pengakuan kelebihan dan keunggulan orang diluar diri tidak dianggap. Sehingga kuat dugaan, mungkin hingga ratusan tahun ke depan bangsa ini tidak akan mencapai budaya unggul (excellent culture) sebagaimana yang diharapkan bersama.

Belum pudar dari ingatan, yel-yel anti korupsi digelorakan secara terbuka, ditandai dengan penandantanganan MoU anti korupsi. Empat unsur (Pemerintah Kota, Kejaksaan, Kepolisian dan DPRD) yang disinyalir paling banyak mengidap penyakit kriminal tersebut ikut dilibatkan. Luar biasa tentunya demi prinsip stand to change, berdiri untuk perubahan.

Saking serisusnya, puluhan meter spanduk berikut baliho ukuran super jumbo dipasang didepan mata agar disetiap inci langkah kita akan selalu diingat bahwa mengkorup adalah prilaku yang sangat jahat. Namun, anehnya, semakin banyak aturan dan kesepakatan yang diciptakan semakin banyak dan sopan pula modus operandi bagaimana mengkorup.

Hingga kini status uang rakyat senilai Rp 16,5 M masih dipolemikkan. Layaknya berita-berita siur para artis dalam infotainment. Selalu menghebohkan. Para wakil rakyat di lembaga DPRD Kota Bima tidak memiliki nyali untuk bersikap, apakah mereka yang punya atau bukan. Yang jelas uang senilai itu tidak mungkin dihabiskan sendiri oleh pemulung atau manusia tua yang keseharianya sebagai pemecah batu dilereng-lereng gunung. Lucunya bukan kepalang. Setelah mengkorup rame-rame giliran dimintai pertanggungjawaban tidak ada yang berani. Sungguh ajaib?

Kota Bima adalah Kota Bima dan tidak mungkin berubah menjadi negara Timur Leste. Sebagai catatan bahwa mengkorup tidak mengenal siapa, waktu, tempat apalagi posisi. Malah sebaliknya, semakin bagus tempat dan posisi kita berdiri akan semakin terbuka peluang untuk mengkorup, dari yang kecil hingga yang mega korupsi.

Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap Rp 16,5 M tersebut?

Keseriusan menetapkan dan untuk mengakui bertanggung jawab, belum ada yang nampak. Apalagi bentuk hukum demi statusnya. Lempar tangan demi kejelasan status hukum hanya melahirkan pukul-pukul meja dan aksi demonstrasi mempertahankan pembenaran. Adu kekuatan antara yang pro stutus dengan yang anti status tumpah ruah dijalanan merusak pandangan.

Menanam sejengkal kebaikan sama dengan mengharapkan seribu harapan. Kebaikan dan kebenaran adalah sebuah investasi dan itu masih kurang ditemukan pada para stake holder di wilayah Pemerintahan Kota Bima. Padahal terwujudnya clean governance dan kehidupan yang berkeadilan merupakan cita-cita luhur untuk membuat manusia bahagia. Bukan saja dalam line interaksi sosial, pada line antara hamba dan sang Pencipta pun sangat diperlukan.

Penggalangan kekuatan yang turun ke jalanan demi sebuah kebenaran secara politis sudah tidak layak lagi dilakukan. Eksekutif dan legislatif sudah saatnya mengedepankan rasionalitas berpolitik yang mencerdaskan, karena Rp 16,5 M harus diselamatkan. Jika sekiranya dasar keterangan hasil audit BPK yang menyatakan bahwa Rp 16,5 M itu harus dicarikan statusnya, maka unsur penyidik dari pihak Kepolisian maupun Kejaksaan dan Pengadilan tidak boleh tidak mesti dilibatkan. Kelompok yang dituding telah berbuat curang harus rela menerima dan membuka diri. Karena yang namanya bangkai sedalam apapun ditanam baunya akan tercium pula.

Pemberantasan korupsi, takut dan anti mengkorup bukan hanya pada saat sejam dilakukan seremonial penandatanganan MoU saja. Dan bukan hanya dijadikan konsep politik sebagai alat kampanye karena ingin target tertentu saja. Konsep itu harus dijalankan agar tatanan menjadi indah dan damai. Bayi yang bernama Kota Bima masih belum cukup umur untuk dianiaya. Ia masih sangat membutuhkan orang tua yang mengerti merek susu yang cocok untuk diberikan. Ia bukan Negara Timor Leste yang belum jelas status orang tuanya sehingga dengan sangat mudah bisa diecer-ecer.

Konsep pembangunan yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat sudah saatnya di rilis ulang, jika tidak ingin dituding sebagai manusia yang hanya sejam jadi anti korupsi.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima. Email:dylla18lalat@yahoo.com


Lanjut Coyyyy......

MENJALA LANGIT, MENDULANG BADAI

(Sebuah Catatan atas Alih Kelola SBW, Meretas Kembali Jalur Kamunikasi)


Sebuah palu ditabuh. Satu keputusan akhirnya ditetapkan, menggema dimana-mana, lewat berita koran maupun dari mulut ke mulut. Keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, yakni hak pengelolaan Sarang Burung Walet (SBW) yang berada di Kecamatan Sape. Pengelola yang memenangkan tender dua tahun lalu dengan tertatih harus mengelola aset yang menjadi komoditas unggulan dan andalan daerah ini dan dengan tertatih pula harus jujur pada pemerintah bahwa dirinya tidak mampu lagi melanjutkan untuk mengelola. Sebuah alasan rasional yang jauh dari rekayasa bagi seorang pengusaha yakni dalam perjalanannya memetik hasil selalu menuai badai: merugi dan tidak kondusif dalam internal perusahaan.
Saat ini, sebuah pengakuan tertulis dilayangkan. Rasa kaget dan panik pada diri masing-masing panitia tender bukan kepalang. Sesuatu yang tidak pernah dibanyangkan sejak dua tahun lalu. Hal itu karena, selain harus menjaga kredibilitas, pihak panitia yang di dalamnya menyatu para pejabat dan orang-orang yang selama ini memahami dan tahu benar seluk beluk hukum-hukum dan prosedur tender, harus mengamankan sebuah kebijakan orang-orang tertentu. Dalam arti bahwa, para pemangku tersebut akan mengalami phobia yang berlebihan manakala berbuat yang dianggap melecehkan sebuah titah, tidak amanah.


Terlepas benar atau salah, pada saat itu sebuah dinamika direkam dan diabadikan oleh sejumlah koran. Mereka mengomentari setiap inci moment yang dianggap memiliki nilai wah bagi sebuah pemberitaan. Mengomentari intrik-intrik pemenang, sedangkan pada yang kalah dianggap tidak mahir memainkan link-link dan tekhnik-tekhnik pemenangan. Bahkan ada yang mengutip sebuah pernyataan bernada dendam dari orang-orang penting di daerah ini dalam sebuah head line mereka. Namun demikian, semua itu tidak perlu disikapi dengan sangat berlebihan mengingat sebuah historical moment tentu saja tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang mewakili realitas masa lalu. Karena kebenaran absolut dari sebuah realitas hanya ada pada peristiwa yang tidak akan pernah berulang.

Hari ini, ditetas oleh hari kemarin dan hari yang akan datang bergatung pada kemudi hari ini. Sebuah siklus falsafah peradaban yang pernah manjur sejak jaman Yunani Kuno, kendati banyak diantara kita yang tidak sreg dengan ungkapan itu. Kita tahu bahwa orang-orang Yunani Kuno walaupun hidup pada jaman yang kita anggap Kuno tidak pernah menganggap kuno petuah leluhur mereka. Mereka sangat tahu diri dan memahami sebuah falsafah yang pernah mengharu biru. Kepintaran mereka sulit ditandingi bahkan dunia mencatat banyak filsuf lahir dari sana.

Sebuah surat pengunduran diri; bukti ketidak mampuan untuk mengelola dari Dir CV. Karya Tunggal resmi diterima panitia dan tentu hak pengelolaan SBW pun akan beralih ke tangan pemenang kedua yakni CV. Khalifah Bugis. Rupanya pihak pemerintah memilih jalan untuk tidak melakukan tender ulang. Sebuah langkah yang menurut beberapa kalangan dianggap sangat tepat berdasarkan berbagai sudut pandang. Plus-minus, untung-rugi bahkan pada sudut pandang historis; hak dasar sebagai ahli waris.

Selain pelimpahan hak mengelola, yang tidak kalah menariknya adalah kewajiban menyerahkan harga penawaran yang sama yakni Rp 1,7 M. Padahal dulu, kalahnya perusahaan yang kini sedang mengelola tesebut, karena nilai penawarannya lebih rendah. Kalau kita benar-benar ingin menegakkan aturan kenapa tidak mesti memberlakukan nilai penawaran yang sama pula yakni sebesar nilai penawaran yang pernah diajukan dan dulunya dikalahkan? ‘’Dengan tidak menaruh rasa curiga, pernahkah pemerintah berpikir jauh kedepan bahwa apa yang pernah dilakukan perusahaan sebelumnya juga akan terulang kembali? Barangkali ini hanya kekhawatiran yang tidak berdasar saja. Insya Allah,’’harap salah seorang rekan wartawan di Pemkab Bima, beberapa waktu lalu. Namun, dengan berbagai pertimbangan dan motivasi ingin menyelamatkan aset, nilai berapa pun tidak menjadi soal maka CV. Khalifah Bugis (pemenang kedua) dengan semangat sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai; Bismillah jalur komunikais kembali diretas.

MERETAS JALUR KOMUNIKASI

Kebiasaan bermain-main dengan sebuah aturan memang masih belum bisa dihilangkan. Pada sektor swasta maupun pemerintah. Padahal sebuah aturan dibuat demi tertata dan terjaganya suatu proses sistem yang melingkupi kehidupan berbangsa dan bernegara agar tidak dituding sebagai kelompok yang tidak melek dengan tata aturan. Betapa akan dicap sebagai pewaris manajemen acak-acakan kalau saja aturan yang kita bangun sering dipelintir dan dibelokkan, tidak mampu dilestarikan dalam hati sebagai kemudi diri apalagi dalam sebuah organisasi yang tugasnya memang melayani kepentingan publik. Yang lebih penting dan urgen dilakukan adalah bagaimana konsistensi menegakkan aturan dan tata tertib yang telah ditetapkan. Kalau belum bisa, sekarang saatnya untuk serius berlatih. Bukankah kita sama-sama pernah merasakan ‘tidak enaknya’ kalau saja diperlakukan tidak baik berdasarkan aturan-aturan, membelokkan berdasarkan SMS atas nama sebuah policy.

Apa yang bisa dipetik atas kasus tersebut? Adakah jaminan bahwa pada proses selanjutnya tidak akan terjadi hal yang memalukan seperti sekarang ini? Dari catatan penulis baru kali ini seorang pengusaha SBW menyerah di tengah jalan. Terlepas dari apa yang memotivasinya, yang jelas sikap tersebut sangat memukul kredibel panitia (pemerintah) yang dulunya dinilai terlalu agresif mengejar nilai penawaran ketimbang faktor-faktor yang lain (baca: keselamatan aset). Apa jadinya kalau saja disetiap moment pelaksanaan tender terjadi ‘lempar handuk’ seperti itu?

Alih kelola SBW dianggap sebagai titik awal dan pembuka komunikasi antara pemerintah dan pengelola SBW yang selama ini mandek. Harapan baru pun muncul terutama pada konsistensi pembayaran nilai kontrak yang telah terlanjur dijadikan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten. ‘’............. Mau atau tidak mau, harus mau. Karena saatnya dalam SBW ini nurani keluargalah yang berbicara,’’tegas Dir. CV Khalifah Bugis Drs. H Nadjib HM Ali, (Garda Asakota, edisi: 316 Senin, 18-19 Februari 2008).

Sebuah komitmen yang harus dihargai semua pihak. Selain itu tersirat sebuah isyarat bahwa selama lebih kurang dua tahun antara pemerintah dan pengusaha terjadi pergolakan yang luar biasa. Arus komunikasi tersumbat, tidak jalan sebagaimana mestinya. Kendati di daerah ini tidak hanya satu pengusaha, namun sebagai pemerintah yang memiliki jalur penanganan secara comprehention harus membina kemitraan, hubungan baik dengan pengusaha apa pun. Karena paradigma pembangunan berpola kemitraan, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri.

Sebuah harapan bisa saja menjelajah dan menerawang kemana pun ia kehendaki. Dan untuk menghindari terulangnya hal yang sama maka yang perlu dicermati pertama, pemerintah daerah agar lebih berhati-hati, cermat dan cerdas dalam memenangkan perusahaan yang akan diberi hak mengelola. Sekiranya masih diberlakukan aturan ‘hak sebagai ahli waris penemu gua’ mari kita perhatikan bersama. Bukan berarti mengkultuskan hal-hal yang irasional. Mari mengasumsikan hal seperti itu sebagai wasiat yang memang harus dilaksanakan. Dan sebagai sesuatu yang telah diwasiatkan, kalau saja tidak dilaksanakan maka bukan rahasia lagi suatu saat akan ada ganjarannya. Kedua, tidak mengedepankan untung lebih besar dan melimpah yang memaksa pengusaha untuk memanen belum waktunya. Hal itu akan menghancurkan keselamatan habitat yang ujung-ujungnya punah. Bukankah mengharap untung lebih besar tidak dianjurkan oleh agama yang kita anut. Ketiga, mari kita berpikir untuk hari esok dengan mengedepankan saling menghargai dan mempercayai. Andai saja engkau berpikir bahwa aku saudaramu munking langkah yang menjengkelkan itu tidak engkau turuti. Kalau saja engkau mau mendengar dan merasakan isi hatiku maka aku yakin engkau tidak akan menelan lundahmu kembali. Andai saja engkau jujur pada dirimu, aku yakin engkau tidak akan memiliki musuh yang engkau sendiri akan melawannya. Dulu aku berpikir bahwa engkau tidak bermain-main dengan keputusanmu untuk memenangkan yang bukan termasuk dalam persyaratan-persyaratan tambahan, ternyata engkau serius menerobos jaring itu. Dulu aku berpikir kita akan sama-sama menjaga titah leluhur, karena apa yang dititahkan leluhur dan kalau pun dibelokkan maka murka akan datang. Aku mengungkit leluhur bukan berarti telah melupakan Allah Azza Wajalla, namun karena leluhur juga mengkaji dan memaknai huruf demi huruf dalam al-quran dan al-hadis maka aku harus mengingat-ngingatnya pula. Bahkan dulu dengan rasa putus asa aku pernah menulis dalam catatan harianku layaknya seorang bijak adalah angan-angan luhur telah gagal untuk membuat manusia bahagia.

Sebuah palu ditabuh. Komunikasi menggema. Semuanya akan berpaling pada diri masing-masing. Jangan memaksakan kehendak yang membuat aku harus menyatakan memang kamu begitu; selalu menjala langit, mendulang badai.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima




Lanjut Coyyyy......

Tahajud ilalang (TI) adalah antologi puisi saya yang pertama. Layaknya sebuah karya sastra terutama karya puisi, mengambil salah satu judul puisi sebagai judul sebuah buku dianggap lumrah dan bukan menjadi hal yang diharamkan. Dalam antologi ini, teman-teman juga bisa menikmati 'Lukisan Tanpa Warna', sebuah antologi yang cukup menarik. Bagi teman-teman yang berminat bisa memesan via, Facebook; dylla18lalat@yahoo.co.id, Email: dylla18lalat@yahoo.com
Lanjut Coyyyy......