dylla lalat

MELUKIS KEGELISAHAN LEWAT SASTRA MEMBUSUR RUHANI MELALUI PENA

JANGAN MAIN-MAIN DENGAN KELAMINMU

Kalau saja, apa yang telah kita lakukan benar-benar lebih awal diketahui resikonya, maka pasti apa yang akan kita lakukan itu urung dilakukan bahkan akan kita buang jauh-jauh, seberapa pun penting dan mendesaknya ia.

Kalau saja sesuatu itu memungkinkan kita melejit; menjadi orang yang lebih dikenal tak disertai gejala tak karu-karuan, mungkin saja apa yang tersedia di bumi ini akan habis diembat. Kalau saja, apa yang telah dilakukan oleh seseorang itu dengan rasa senang akan dituruti atau diikuti orang diluar diri, maka bisa dipastikan dinamika yang kita hadapi tidak akan menawarkan darah dan air mata. Semuanya akan berjalan baik dan benar.

Manusia lahir dilengkapi dengan akal, agar ia memiliki kesadaran. Kesadaran menjalankan apa yang baik bukan saja menurut hukum agama melainkan baik, juga menurut hukum sosial kemasyarakatan. Artinya, manusia dengan hukum dan tata aturan tidak pernah bisa dipisah-pisahkan apa pun alasannya. Dan fakta, semua kita tentunya hanya bercita-cita untuk menjalankan hal itu, hari-hari dan waktu kita tetap menjadi gelap.

Manusia bisa memiliki cita-cita untuk menjadi apa saja, tergantung yang ia cita-citakan. Cita-cita menjadi milik semua manusia yang memiliki kesadaran untuk maju karena cita-cita itu sendiri adalah motivasi. Motivasi yang akan memicu gerbong ‘pemilik cita-cita’ agar tidak keluar dari lintasan yang tentu saja akan berakibat fatal. Bahkan yang mesti disalahkan adalah mereka yang tidak memiliki cita-cita, sehingga menuding orang lain macam-macam. Semuanya itu sah adanya dan tidak perlu dipertentangkan. Cita-cita adalah energi yang dengannya kita bisa bertegursapa dengan santun, bijak, penuh kekeluargaan dan persahabatan.

Hanya saja yang membedakan adalah teknik, strategi, cara dan waktu tempuh untuk menggapai cita-cita itu sendiri. Ada yang ingin mengambil cara instan, pragmatis bahkan tidak mampu membaca kedalam diri. Sehingga, yang muncul adalah penyakit meremehkan orang lain, seakan-akan hanya dirinya yang pintar, baik, benar dan hebat.

Kecenderungan sementara ini, kehebatan seseorang bukan dinilai dan diukur seberapa besar manfaat ia berbuat untuk masyarakat disekitar, melainkan seberapa Mudharat ia melaksanakan hal yang dianggap mampu mendongkrak popularitas kendati harus melawan hukum. Seakan-akan hukum menjadi tempat bersarang dan bertopengnya para kelompok kepentingan untuk berkamuflase. Seolah-olah hukum adalah sebuah wilayah yang sudah dikapling secara permanen untuk melindungi pola-pola yang tidak sehat, dan tidak bisa disentuh orang lain yang dinilai tidak memiliki kesamaan pandangan dan kosep.

Wilayah aturan, norma, etika dan hukum terkesan wilayah kebijakan. Dan tentu yang memiliki Policy tersebut hanyalah seorang atasan atau pimpinan. Wilayah kebijakan akan bisa dimiliki oleh bawahan manakala telah dimandatkan atau didelegasikan, selama itu bisa dipertanggung-jawabkan. Dengan kata lain, wilayah para pemimpin adalah wilayah eksklusif-elitis, yang penuh dengan ornamen dan simbol-simbol, full of presticious. Kendati yang lebih kuat pada ranah tersebut adalah muatan politisnya.

Banyak diantara kita, yang manakala telah berada dipuncak, dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki tidak segan-segan bermain-main dengan lingkaran itu. Membuat aturan sampai mengeluarkan keringat kemudian dengan sadar mengajak untuk bersama-sama melanggarnya. Pola menciptakan game seperti ini hampir dipastikan menjadi kebiasaan kita dan sangat tertatih untuk mau mengubahnya. Akibatnya, kita dianggap sangat kekanak-kanakan tidak mau mendengar nasihat yang sehat demi kemaslahatan bersama.

So What Can You Do With Your Country? Awal-awal membangun Indonesia, Soekarno-Hatta selalu membumikan pernyataan tersebut, yang ia kutip dari Presiden AS, John F Kennedy. Dengan harapan, semangat yang demikian bisa diwariskan pada kita saat ini. Kita semua paham bahwa membangun kepercayaan masyarakat, membangun mentelitas dan kesadaran aparatur bukan dengan pernyataan, motto dan sesumbar yang penuh dengan retorika dan simbol-simbol. Implementasi yang benar-benar sesuai dengan apa yang telah dimottokan itu yang perlu.

Membangun kepercayaan, mentalitas dan kesadaran adalah sebuah investasi dunia wal akhirat dan itu harus dimulai dari pimpinan, karena kecederungannya apa yang telah difatwakan oleh mereka tentu saja yang lainnya akan nurut. Bagi gerbongnya, ‘fatwa’ difahami sebagai ideologi yang jika tidak dilaksanakan maka akan siap mendapatkan murka.

Ada baiknya kita mengedepankan prinsip investasi adalah investasi, bukan investasi adalah politik. Manakala investasi diarahkan hanya semata-mata pada persoalan politik maka tamatlah ia. Bersegeralah untuk menghadapi pergolakan, pengerahan massa yang tentu saja akan berbuntut pada pengerusakan fasilitas dan pertumpahan darah. Hukum yang kita anut menyatakan, apa pun bentuk pengerusakan merupakan perbuatan anarkis yang melawan hukum. Sama halnya dengan mencurangi hak-hak rakyat demi kepentingan pribadi atau golongan.

Jika saja peraturan yang awalnya dihajatkan untuk menormalisasi tingkah laku dan perbuatan yang dinilai melawan, hanya menjadi pajangan layaknya barang mewah yang dipajang di super market dan toko-toko, apa yang bisa dibanggakan oleh Sang Proklamator tercinta juga masyarakat?

Hari ini melarang kami untuk berbuat sesuatu yang melanggar aturan, beberapa saat kedepan engkau sendiri memimpin yang lainya untuk menghianati. Jika benar-benar engkau tidak mampu untuk menjunjung tinggi supremasi itu maka jadilah pendekar moral yang siap mundur jika nyata-nyata sudah tidak mampu. Politik tak selamanya tidak menawarkan tragedi. Dan itu akan selalu dikenang. Ia akan selalu memunculkan kesangsian bagi siapa saja aktornya.

Seharusnya politik adalah panggung agung, wilayah dakwah untuk menebarkan syair-syair nurani dan siar-siar kemanusiaan sebagai investasi akhirat. Karena semua sadar kita akan menuju pada kematian abadi. Tak ada manfaatnya semakin garang menciptakan game-game keliru demi sebuah titah yang hanya melanggengkan kami untuk tetap awas dengan senjata ’Jangan main-main dengan kelaminmu’.

Jangan Main-main dengan Kelaminmu: Judul Novel Karya Ayu Utami

Lanjut Coyyyy......

WACANA ZAMAN I

karena doa-doa sudah tak bermakna lagi
adakah yang tersisah buat zaman
yang kita tanam dengan nurani
tegar

nurani zaman telah mencakar dalam doa-doa
karena kita saling melautkan nurani sesama
lepas

nurani zaman telah terhunus
tancap nurani doa-doa
karena doa-doa hanya buat
membantai sesama
hanyut tidak
untuk hijau anginku


nurani zaman telah tawari air mataku
karena doa-doa
sudah tak bermakna lagi


Bima 20/12/98

Lanjut Coyyyy......

PELANGI DI MATAMU?


oleh: Dylla Lalat
Jika menyukai seni musik, ada baiknya kita menelusuri syair-syair yang dilagukan kelompok band Jamrud ‘Pelangi di Matamu’ yang lagi In beberapa waktu terakhir. Gubahan syair yang benilai tinggi tentunya, jika kita serius ingin memahaminya sebagai sebuah karya yang lahir dari roh budaya dan kreatifitas. Karena roh budaya dan kreatiftas tersebut tidak bisa dimiliki oleh makhluk lain kecuali hanya manusia.
Sepintas, belajar jujur dengan perbuatan dan perkataan sesuai dengan karakter budaya manusia adalah antara lain yang bisa dipetik dari syair tersebut. Mereka hadir menawarkan kesejukan dan bukan perlawanan fisik. Mereka mengajak agar terus menjaga budaya saling menghargai untuk tidak munafik, menipu diri sendiri yang tidak sesuai dengan budaya ketimuran kita.

Jika ingin sesuatu maka sampaikan dengan santun dan tidak berliku-liku. Tidak diawali dengan melempar joke bersifat kekanak-kanakkan, agar sama-sama enak dan bisa saling menerima. Menyampaikan maksud yang baik bukan hal yang diharamkan dalam proses kehidupan manusia yang memiliki kejelasan ideologi. Asas keseimbangan dan sinergitas terhadap tugas, fungsi dan kewajiban bagi siapa pun pada lini-lini kehidupan berbangsa bernegara dan berdaerah menjadi yang utama dan prioritas. Karena siapapun kita adalah sama. Dan jika saja ada perbedaan niscaya hal tersebut betapa indahnya kalau saja ditempuh jalur musyawarah mufakat agar kita saling kenal mengenal.
Eforia saling menelanjangi di dua lembaga (eksekutif dan legislative) kini mencuat hangat memekakan telinga. Tidak jelas target dan tujuannya apa. Namun yang jelas, sandiwara yang disuguhkan tersebut hanyalah ingin memperoleh legitimasi dari masyarakat. Agar dapat dianggap bahwa para pelayan masyarakat itu telah bekerja maksimal sesuai amanat dan hati nurani rakyat.
Kesimpang siuran materi sinyalemen yang diretas beberapa anggota dewan terhadap dugaan adanya kebocoran SPPD dan sikap represif terhadap kebijakan pengadaan mobil Ranger serta beberapa item kebijakan eksekutif lainya menjadi hal penting yang perlu ditelusuri bersama. Namun tidak berarti bola yang dilempar tersebut adalah bola mati sebagai sebuah keputusan yang ditafsirkan sebagai proses menjustifikasi.
Dugaan itu sebaiknya dijadikan sebagai jalan atau informasi pembuka agar bisa ditelusuri apa sebenarnya dan sesungguhnya terjadi. Legalitas formal dan secara kelembagaan suara anggota Dewan yang konon juga sebagai bagian dari panitia anggaran tersebut harus diapresiasi sebagai langkah ingin meluruskan persoalan yang terjadi, ketimbang bermain dengan informasi dan isu-isu palsu yang tidak layak dihembuskan oleh figur-figur yang ada di lembaga terhormat kemudian dikonsumsi oleh masyarakat yang selayakanya kita didik dengan sikap dan karakter berpolitik yang sehat.
Sebagaimana yang diberitakan, bahwa nilai SPPD-gate tahun 2006 yang diributkan tersebut jelas tidak sedikit, luar biasa fantastisnya menembus angka miliaran rupiah. Artinya, hasil kerja eksekutif masa bakti tahun lalu dengan sendirinya telah sukses melewati uji publik, verivikasi dan evaluasi secara administrasi maupun secara kepatutan dan kelayakan sebagai sebuah laporan pertanggungjawaban. Kendati implementasi LKPJ pimpinan daerah di seluruh Indonesia langsung pada Gubernur, namun mustahilkah tidak dihiraukan apa yang menjadi usul saran legislatif sebagai pengawal jalannya pedati eksekutif.
Makna sebuah hubungan kemitraan antara legislatif dengan eksekutif adalah sebelum eksekutif mengeluarkan kebijakan sudah otomatis harus meminta restu dari lembaga legislatif kendati secara tekhnis dan modus operandinya tidak banyak masyarakat yang tahu. Langkah pemerintah adalah juga langkah Dewan yang menjalankan fungsi sebagai pengontrol dan pengawal. Dan pengawal yang baik dan benar adalah yang mau menegur jika dianggap keliru dan mengingatkan jika dianggap telah melampaui batas. Bukan saling menelanjangi kendati jalanan tersebut telah sama-sama dilewati dan dinikmati.
Bagaimana dengan SPPD-gate tahun lalu itu? Apa target yang ingin dicapai leglislatif yang tiba-tiba saja beringas terhadap langkahnya sendiri bersama eksekutif?. Ada pendapat mengatakan bahwa tidak semua hal bisa dijadikan komoditas politik. Dan siapa pun punya hak untuk mengeluarkan pernyataan dan pendapat. Bahkan untuk benda pendapat pun sah-sah saja adanya. Yang tidak diperbolehkan adalah berpecah belah yang mengarah pada disintegrasi demi menjunjung tinggi penafsiran yang salah dan egoisme kubu-kubu.
Semua lakon yang dipertunjukan bukan episode yang tidak bisa dituntaskan. Yang mesti dipelajari dan dikaji ulang agar tidak dianggap orang bodoh adalah sikap mempolitisasi yang tidak semestinya dipolitisir. Karena apa yang dilempar kepermukaan tidak semua masyarakat mampu mencernanya. Malah yang mesti diwaspai adalah munculnya kebingungan masyarakat yang mengarah pada reaksi berlebihan lalu ujung-ujungnya adalah instabilitas daerah.
Pembentukan panitia khusus yang diisi oleh orang-orang yang capabel dan memahami tugas yang diamanatkan, merupakan langkah terpuji untuk menelusuri jejak yang diisukan. Dan langkah itu merupakan prioritas yang dilakukan oleh Dewan. Kemudian untuk mendukung kinerja tim, keterbukaan menjelaskan hal yang sebenarnya oleh pemerintah selaku pelaksana pemerintahan sangat dipuji demi meluruskan kesimpang siuran isu-isu tersebut. Tentu dalam hal ini, kita semua tidak ingin dikatakan setengah hati dan menjadi kelompok manusia bodoh dan pintar bersandiwara. Biarlah nanti masyarakat sendiri yang menilai siapa yang layak di bagaimanakan dan yang pantas dijadikan apa. Mumpung semangat reformasi di segala leading sektor di negara ini masih sangat hangat-hangatnya.
Memang benar, dunia adalah panggung sandiwara. Semua peran maupun yang diperankan memiliki kesempatan yang sama untuk menghidupi atau mematikan, mengisi atau mengosongkan hakikatnya. Segala cipta maupun yang diciptakan akan lenyap ketika batas-batas panggung sandiwara itu juga lenyap. Tubuh dan benda-benda bergerak dalam ruang dan waktu yang sama untuk menempuh eksisitensi yang bersifat temporal. Sedangkan jiwa dan pikiran dapat bergerak tanpa batas, melebihi ruang dan waktu untuk merengkuh transedensi yang bersifat spititual.
Pola kemitraan legislatif dan eksekutif jangan dilihat hanya tiga puluh menit saja. Kehadiran dua lembaga, berikut awaknya tidak lain merupakan satu kesatuan yang layaknya mobil dan bensin; saling asah dan saling asuh. Jangan memaksakan diri untuk tidak jujur pada diri sendiri apalagi bersikap munafik (double standar). Sesungguhnya kemunafikan itu akan mendekatkan kita pada kekufuran. Tiga puluh menit bukan waktu yang pendek untuk merekonstruksi kembali nalar dan logika kita agar menjadi hamba Allah yang takut untuk bersandiwara, menebarkan lakon-lakon palsu.
Atau //mungkin butuh kursus// merangkai kata/// untuk bicara//dan aku benci///harus jujur padamu//tentang semua itu///...........................//. Atau barangkali pelangi di matamu benar-benar semakin redup, sehingga hanya mampu menyentil yang palsu-palsu saja.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima. Email:dylla18lalat@yahoo.com
Lanjut Coyyyy......

TANO LINTAS TEPIAN SENJA

bersama ombak
kita beranjak rangkul tepian

buih memercik
seperti senyum tatap kita
hingga laut berkabar pada karang


saat lintas tepian senja
rindu kita tergembok
sebelum kini

tapi terurai bersama malam
berpayung rembulan

lalu gemintang tatap bukti


Alas, 23/02/98


Lanjut Coyyyy......

NEGERI ANEKDOT ?

Minum air jangan dikunyah, makan nasi jangan diminum. Sebuah ungkapan yang mengandung makna dan interpretasi yang berbeda-beda. Kendati dalam kamus, sudah ada makna dan artinya yang baku. Ada anggapan bahwa adanya perbedaan tersebut menunjukan bahwa manusia dalam hidup dan kehidupan disepanjang hayatnya tidak akan pernah menemukan kesepahaman. Selalu saja ada perbedaan.
Akibatnya, mengatur atau mengurusnya pun sangat sulit, bahkan dianggap lebih mudah mengatur hewan piaraan. Adanya perbedaan dalam pandangan manusia, juga dibuktikan dengan bahwa sejak awal-awal rencana penciptaanya terjadi pertentangan dan perbedaan pendapat yang luar biasa antara malaikat dengan Sang Yang Maha kreasi; Al-Khalik.
Tidak bisa disangkal bahwa manusia dilahirkan dengan karakter yang melekat pada diri masing-masing. Tentu saja karakter tersebut sangat jauh berbeda dengan karakter makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dua karakter itu yang selalu menyertai kemana pun mereka pergi dan menjadi pondasi jika saja mereka tidak ingin dianggap sebagai manusia yang berprilaku berbeda dengan manusia kebanyakan.
Persoalan moral dan mentalitas seperti itu menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Bahkan ada sebagian asumsi menyatakan, persoalan moral selain telah memasuki ruang-ruang publik juga sudah memasuki ruang-ruang privacy, meja-meja dinas para birokrat dan non birokrat dimana pun mereka di muka bumi ini.
Harus diakui mencari batasan antara prilaku yang baik dan buruk memang gampang-gampang susah. Sebagai salah satunya, ia bisa dijelaskan dengan pandangan umum yang berlaku di masyarakat. Karena, jika saja mengacu pada aturan yang benar-benar sesuai dengan hukum, norma dan aturan perundang-undangan Negara akan semakin tidak bisa seia-sekata. Karena, produk aturan itu sendiri mestinya ditaati bukan dilanggar atau dilawan. Sehingga akan terjadi normalisasi dari hal yang kecil sampai yang besar.

Saking semakin tidak adanya batasan antara baik dan buruk yang di dalamnya juga termasuk mental keserakahan dan kerakusan maka tidaklah berlebihan penulis sedikit berburuk sangka, bahwa kita laksana hidup pada sebuah negeri yang di dalamnya penuh anekdot. Ngalor ngidul tidak karuan penuh kamuflase umbar janji sana sini, tidak jelas yang mana esensi dan yang rekaan.Semuannya semakin tidak menentu.
Parahnya lagi kita lebih bingung memetakan yang mana layak dan memenuhi standar rasionalitas kita sebagai manusia rasional yang mengedepankan hati nurani. Mestinya pada kondisi kekinian kita, hal-hal yang mengarah pada prilaku irasional tersebut tidak perlu membusungkan dada untuk mencernanya dan mengernyitkan dahi untuk memahaminya. Karena bagaimana pun, yang dapat mengganggu harkat dan martabat ummat mestinya dapat diperangi. Walau pun pada dasarnya dibutuhkan kesadaran kolektif untuk mewujudkannya.
Minum air jangan dikunyah, makan nasi jangan diminum adalah sebuah suasana, ilustrasi dan instrumen yang memungkinkan kita menggauli dan mendekati sesungguhnya yang terjadi di daerah ini agar pada ujungnya nanti kita tidak terjebak secara berjamaah. Frekwensi membumikan tekhnik dan strategi politik apa pun namanya tidak sebanding dengan ditelorkannya strategi atau program yang bisa diterima masyarakat untuk kelanjutan hidup dan pencaharian mereka.
Kita semua faham masyarakat butuh pencaharian yang berkelanjutan dengan rumus pengelolaan yang sederhana, baik, transparan dan mudah dipahami oleh mereka sendiri. Logika masyarakat adalah bagaimana mereka bisa beribadah dengan khusuk, mencari makan yang cukup untuk bisa bertahan satu atau dua waktu (baca: siang atau sore), tidak membutuhkan yang bombastis. Begitu bombastinya hal-hal yang dianggap pemali tidak lagi bernilai pemali. Padahal hakekat pemali adalah bagaimana kita bisa menahan diri agar tidak selamanya dikendalikan oleh nafsu dan birahi yang meruntuhkan moral kita selaku manusia personal, kelompok dan atau dependent Human Being.
Kesederhanaan dan keluguan cara berpikir masyarakat tersebut, memungkinkan mereka untuk dengan serta merta menelan muntah-muntah sesuatu yang kita anggap sebagai hal yang bersifat coba-coba, tidak real atau bahkan sebagai kelinci percobaan. Dan mereka sama sekali tidak tahu dan tidak memahami hal itu. Kita bernar-benar mengajak mereka untuk tersesat bersama-sama yakni mengunyah ketika minum air dan meminum ketika makan nasi.
‘’Negeri Anekdot negerinya para Pemimpi’’,ujar salah seorang anggota DPRD Kabupaten Bima, saat berdiskusi dengan penulis dan teman-teman wartawan, di gedung Paruga Parenta, beberapa waktu lalu. Tidak hanya berargumen seperti itu, Anggota Dewan, yang dikenal dekat dengan para aktivis dan teman-teman media tersebut juga mengomentari pemberitaan di harian lokal yang menurunkan berita; demo menolak tambang mangan di Kecamatan Woha, perkelahian antar kampung (Desa Ngali, Renda dan Monta), pembuatan taman kota yang dinilai merampas ruang publik dan simsalabim APBD Kabupaten Rp 2,5 M untuk salah satu perguruan tinggi swasta dan perselingkuhan pejabat.
Menurutnya, Indonesia hari ini, sudah diisi oleh orang-orang yang senang bermimpi, termasuk mahasiswa yang melakukan aksi tersebut. Mereka menginginkan agar sesuatu yang mereka usung segera terealisasi tanpa memahami prosedur dan mekanisme yang berlaku dalam internal birokrasi. Mereka memaksakan sesuatu yang tidak seharusnya dipaksa-paksakan bahkan menuding telah terjadi krisis pada level pelaksana system.
Demikian pula halnya mereka yang telah maupun yang akan mengisi posisi pemimpin. Seharusnya, kata anggota dewan tadi, orang-orang itu harus pintar-pintar dan lebih serius menatap kedalam diri mereka agar tidak memaksakan untuk mengejar tahta. Kalau saja tetap dipaksakan maka akan berakibat meruncingnya krisis legitimasi yang tentu saja akan sangat memalukan gerbong yang berjejer dibelakangnya.
‘’Apa yang kita harapkan dari generasi yang senang mengejar mimpi?,’’katanya.
‘’Bukankah ini bukti kegagalan pelaksana system,’’nyeletuk salah seorang teman wartawan. ’’Berbicara kegagalan, semuanya gagal. Mulai dari pemerintah yang membangun komunikasi sampai pada mahasiswa yang tidak mampu memahami mekanisme birokrasi,’’ lajut mas Dewan itu.
Lalu sedemikian parahkah keadaan yang dialami oleh daerah ini? Membangun harus diawali dengan nawaitu ingin mengubah. Mengubah misalnya dari angka satu menuju angka dua dan seterusnya. Nah kalau saja yang diubah tidak mengalami perubahan atau tidak bergerak apalagi berjalan ditempat bahkan mundur bagaimana jadinya.
Membangun dalam arti luas adalah bagaimana sesuatu itu bisa bermanfaat bagi sesama atau bahkan bukan sesama sekali pun (baca diluar makhluk manusia). Artinya dalam konsep membangun semua kekuatan harus mengambil bagian dan dilibatkan. Sehingga menjadi pembangunan partsipatif. Dan pembangunan partisipatif tersebut harus didukung oleh kekuatan sumber daya manusia yang berkualitas. Misalnya, ketika diberi tugas untuk membangun jalan dan jembatan maka ia tahu dan faham bagaimana konstruksi dan mencampur agar menghasilkan jalan dan jembatan yang berkualitas. Ketika diserahi tugas untuk membangun moral dan pendidikan maka ia tahu dan faham bagaimana rumus, taktis dan strategi termasuk penempatan tenaga pendidik yang capable sesuai kualifikasi akademik yang sehat agar bisa menghasilkan generasai yang bermoral dan perpendidikan.
Gerakan membangun dan mengubah mental dan prilaku bukan sesuatu yang mudah, itu pemahaman yang umum berlaku. Namun tidak ada sulitnya kalau saja semuanya berusaha dan bangkit bersama yang digerakkan oleh pemimpin. Fungsi manajerial mereka harus benar-benar dimaksimalkan demi terwujudnya iklim tata kelola yang sehat menuju harapan dan cita-cita perubahan. Perbedaan bukan dijadikan kekuatan untuk saling melawan, melainkan cahaya yang akan menerangi untuk bangkit melawan hegemoni prilaku yang buruk.
Anekdot adalah cerita yang meninabobokan. Ia bisa diartikan dengan cerita lucu, dongeng, perumpamaan atau cerita hayalan. Biasanya, kita fungsikan untuk menghantar tidur putra-putri kita agar lekas pulas. Dan rupanya yang membutuhkan tidur pulas bukan saja putra-putri kita melainkan kita semua pun butuh. Hanya saja tinggal memilih, tergantung kesenangan masing-masing. Teruskan atau bangkit menuju perubahan?!

Dylla Lalat: Ketua Konumitas Seni dan Sastera Indonesia (KOsenTrasi) Bima
Emaill: dylla18lalat@yahoo.com
Blog:dylla18lalat.blogspot.com






Lanjut Coyyyy......

Bangkit Bimaku, Hadang Koruptor

Sejarah tidak akan pernah sakit. Ia akan selalu menjadi cermin bagi siapa saja yang merasa diri memiliki negeri ini. Sejarah laksana mutiara yang selamanya akan berkilauan. Berkilau pada paru-paru anak zaman agar tidak terperosok pada lembah hitam.

Sejarah seratus tahun silam dibangkitkan lagi. Anak bangsa mulai dari Sabang sampai Merauke menyuguhkan aneka seremonial untuk penyambutan hari kebangkitan ini. Walaupun kenyataannya, hingga kini kembangkitan kita tidak utuh dan bersama lagi. Beberapa pulau telah menempuh jalur kebangkitannya sediri. Ia memilih harus pisah dari NKRI, dan tidak perlu dicari siapa yang salah dan siapa yang benar. Itulah sisi lain dari sebuah sejarah yang dibangun dengan tidak adanya keutuhan jiwa dan raga. Mengedepankan pemikiran dan ego politik individual destruktif ketimbang kebersamaan menyelaraskan pemikiran dan musyawarah untuk penyelesaian persoalan dan sengketa.

Kebangkitan. Hari ini, seratus tahun silam dengan keutuhannya Indonesia memekik tanda berbangkit. Gugusan pulau-pulau yang tidak pernah sendiri itu mengambil peran masing-masing untuk mengukuhkan diri bahwa mereka tetap menjadi warga NKRI sampai kapan pun. Kebangkitan itu, menjadi titik awal dan gong perjuangan untuk mengusir segala kolonialisme. Penjajahan yang tidak henti-hentinya merongrong terutama dalam tubuh dan akal ke-Indonesia-an kita.


Sebuah unit kehidupan dari yang terkecil seperti individu dan kelompok masyarakat pada umunya harus dijadikan nilai dan modal untuk melawan bentuk-bentuk koloni yang menghantui. Sebab, tidak ada penjajahan yang lebih dahsyat selain yang muncul dalam pikiran dan tubuh anak negeri sendiri. Penjajahan, yang berubah bentuk menjadi ‘mentalitas’ ingin mengkorup, menipu, merampas dan berpura-pura memperjuangkan hak-hak anak bangsa yang lebih tidak berada dari kita, tanpa dikomando harus sama-sama dilawan. Memang benar apa yang dibahasakan oleh orang-orang bijak ‘ketidak beradaan akan mendekatkan pada ketidak berdayaan dan ketidak berdayaan akan mudah diperdaya oleh bukan saja orang asing melainkan oleh orang dalam pun demikian. Padahal mereka yang selama ini kita anggap sebagai pelindung dan pengayom tempat segala duka bermuara.

Kita tahu bahwa, siklus medan jajahan bukan tidak mungkin dapat diisolir sepanjang pemujaan secara kolektif sadar akan ‘ada’ hak mereka yang lebih tidak berada tersebut. Tidak ada amalan yang lebih nikmat kecuali ikut merasakan duka nestapa para jiran dan mereka yang lebih tidak berada dari kita.

Berbagai modus operandi ‘menjajah’ sudah jamak ditemukan. Bahkan mengalahkan hukum perundang-undangan yang kita dianut sejak dibangkitkannya negara dan bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika ini. Menjajah untuk skala kecil maupun skala besar yang tentunya juga overloping pada lembaga-lembaga formal maupun nonformal semakin membuhul saja. Bahkan untuk memperhalus bahasa dianggap sebagai sebuah ‘budaya’. Padahal itu bukan persoalan budaya melainkan mental atau moral orangnya yang memang sudah tidak beres. Rentang waktu seratus tahun sejak Indonesia bangkit, pemaknaan dan pemahaman ‘budaya’ berbeda-beda. Loncatan dari generasi ke generasi itu, makna ‘budaya’ semakin dipolitisir, dikabur-kaburkan, dikambing hitamkan bahkan dijadikan alibi ketika disudutkan pada sebuah persoalan.

Pemahaman budaya dari generasi pertama sejak bangkitnya Indonesia sangat juah berbeda dengan yang dipahami oleh generasi modern metropolis. Oleh generasi pendahulu ‘budaya’ diartikan sebagai semangat untuk bangkit, berjuang membela panji Indonesia yang Pancasilais, bermartabat dan berteposoliro. Sehingga nilai-nilai ke bhinekaan walaupun berbeda-beda namun tetap satu dan utuh. Budaya, dijadikan senjata untuk berperang mengusir koloni, melawan prilaku monopoli dalam segala hal dan betapa malunya kalau saja dinyatakan kalah.

Sedangkan bagi kita sekarang ‘budaya’ dipahami sebagai kebiasaan untuk memperluas wilayah koloni. Padahal sebuah budaya lahir dari inidvidu atau kelompok masyarakat tertentu yang sifatnya begitu indah dan syahdu tidak bisa dicampur adukan dengan sesuatu yang hitam. Logika siapa yang bisa mensinerjikan; seiring sejalan antara yang kasar dengan yang halus dalam waktu yang bersamaan? Kendati manusia selaku pabriknya ‘budaya’ memiliki potensi untuk itu.

Sebuah idealisme tidaklah cukup sakti untuk memberantas potensi bahkan yang resmi telah mejadi koloni tersebut. Langkah yang paten dilakukan harus diawali dari yang memiliki otoritas. Mereka harus lebih sadar, tahu diri dan jujur memandang bahwa wilayah kekuasaanya bukan sebagai wilayah atau medan untuk mengkorup.

Belum pernah ada di dunia ini yang memiliki otoritas kekuasaan dapat memanfaatkan wilayahnya demi memberantas hal-hal yang merugikan. Malah cenderung bersekutu menghancurkan tatanan yang diperoleh dengan cucuran darah. Perjalanan masih panjang dan kebenaran tidak selamanya berada pada dirimu yang memiliki otoritas dan kekuasaan.

Bagaimana baiknya melanjutkan abad kebangkitan ini terutama untuk tanah Bima? Adakah harapan bagi mereka yang selama ini belum diuntungkan secara ekonomi, politik, pendidikan dan budaya atau mereka yang dimiskinkan oleh sebuah policy tertentu?

Tanah Bima adalah Indonesia. Mulai hari ini, siapa pun dia harus mulai bangkit mengisi yang masih kosong dan menambah yang dianggap benar-benar masih kurang. Kebangkitan Indonesia adalah juga kebangkitan tanah Bima. Kerisauan untuk tidak mendapatkan apa-apa pada tempat dimana kita mengisi hidup tidak perlu dianggap sebagai petaka. Dimana kita berdiri disitulah tempat kita berjuang. Jabatan dan posisi tertentu hanya tempat untuk meneruskan perjuangan.

Dari catatan sejarah, Tanah Bima adalah bumi yang makmur. Isi alamnya melimpah ruah. Sistem pemerintahan dan pola distribusi kepercayaan kepada masyarakat diakui dunia. Olehnya itu saatnya kini, semua sektor harus digerakkan secara maksimal agar tidak mengecewakan kelompok-kelompok yang sebenarnya menjadi fokus. Sektor unggulan harus benar-benar dijalankan oleh tenaga profesional yang lebih mengutamakan kinerja dari pada memark-up atau mengkorup anggaran yang dibutuhkan. Pola pemaksaan penempatan tenaga yang dipaksakan harus profesional bukan langkah tekhnik strategis apalagi menempatkan tenaga yang tidak proposional.

Era kebangkitan mesti mengedepankan pola profesionalisme karena kedepan abad akan semakin berlari dengan segala nilai kompetitifnya. Apa yang ada harus dilihat sebagai awal menuju ujung yang lebih sehat dan bermartabat. Apa yang bisa diperoleh kalau saja seratus tahun kebangkitan kedepan hanya mengejar hal-hal yang populis tak berisi. Program siluman yang menghipnotis masyarakat lebih baik tidak dilakukan sama sekali dari pada tidak memiliki nilai manfaat bagi masyarakat dan dianggap sebagai lips-service.

Yang diutamakan bukan fisik proyeknya, akan tetapi bagaimana proses dan kemampuan untuk menahan mental koloni kita agar anggaran benar-benar untuk pelaksanaan proyek. Selama ini yang biasa dilakukan adalah anggaran proyek lebih banyak dibagi-bagi oleh unsur pemiliki yang ada dalam institusi tertentu dengan kontraktor, ketimbangkan anggaran untuk mengerjakan proyek yang sesungguhnya. Akibatnya, kualitas pengerjaan tidak memenuhi standar yang ditentukan. Membangun bukan lagi merujuk pada bestek. Mekanisme dan tata cara yang manusiawi selama proyek digulirkan sama sekali tidak dilihat sebagi ketentuan yang utama.

Sekecil apa pun, mental-mental korup seperti ini tidak boleh dibiarkan dan selamanya akan sangat menggangu. Esensi sebuah perjuangan untuk bangkit adalah ada pada nilai kebersamaan yang proporsional bukan lebih banyak porsi untuk diecer-ecer tak ternilai. Pemetaan dan pemberlakuan quality controle demi mengukur seberapa program yang telah dijalankan segera diberlakukan. Hal itu untuk menghindari adanya tumpang tindih satu sama lain.

Seratus tahun silam Indonesia Bangkit. Indonesia adalah Bima. Dua Pemerintahan otonom (Kabupaten dan Kota) tengah bermanja-manjaan dipelukannya. Keseriusan menoreh tinta kebangkitan secara keseluruhan belum nampak berani, masih malu-malu. Semua nahkodanya dalam hal ini eksekutif, legislatif dan yudikatif masih senang bermain-main dan menyelam di air keruh. Mereka kurang awas kalau saja tiba-tiba penyakit menyerang.

Nahkoda yudikatif, yang benar-benar bersalah tidak serius ditangani sehingga gampang dianggap ‘hukum bisa dibeli’. Nahkoda legislatif, ketika diminta mengurus dan menjembatani kebutuhan masyarakat malah serius ngorok sendiri di meja sidang bahkan (maaf) ada anggapan engkau lebih senang ngorok dengan wanita penghibur. Masyarakat memang selamanya hanya dijadikan titian yang harus diinjak-injak. Demikian pula nahkoda eksekutif. Masyarakat hanya diberi harapan kesejahteraan toh nyatanya kesejahteraan cukup buat keluarga dan kolega. Persoalan politik lebih diutamakan ketimbang mengratiskan apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Grafik masyarakat yang benar-benar miskin dari ujung ke ujung semakin meningkat.

Sedemikian mudahnya bermain-main dengan formulasi ‘koloni’ maka menjadi publik figur atau yang populer dengan pemimpin atau yang lebih terkenal lagi dengan penguasa menjadi dambaan semua orang.

Hari ini sejarah tidak boleh mati. Ia harapan tanah Bima, laksana mutiara tetap memancarkan energi untuk melawan. Bangkit Bimaku, hadang koruptor.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima. Email:dylla18lalat@yahoo.com

Lanjut Coyyyy......

Malam Salju

sejak alfatiha merangkum tangga
penuntun nadi

mendebulah asap di bumi sendiri
yang telah mewajahi
menggetarlah ayat-ayat yang selalau
merakusi
pena malaikat rakib

sejak alfatiha merangkum getar nadi
melumpuhlah pembual
kebenaran abadi
merangkaklah penghamba
berhala-berhala zaman

sejak alfatiha
merangkul tangga nadi
betapa gemetar nadi bumi
oleh cahaya abadi

bima, 7/01/2000
Lanjut Coyyyy......

Metamorfosis Pengabdian

masih banyak rahasia yang akan ditafsirkan
sejak ziarah mulai kusanggupi
keterasingan membelah musim
menjadi metamorfosis pengabdian
dan tetap saja merangkul legenda

walau telah lama belajar menjadi rumput
sekedar memahami cuaca dan percakapan alam


kabari saja tentang pematang
yang akan kita pijaki wahai adinda
bukan sebuah potret palsu yang justru
tak mampu kita bawa pulang


Wawo 08/04/2002

Lanjut Coyyyy......

pulang Berlayar

Pulang berlayar
betapa perahu yang kusimpan di laut seberang
masih meretas misteri
namun sekarang tetap saja kutempuh
kendati lagu gelombang susah dijinakkan

dileher waktu kutahu ia tidak hanya belajar memahami
sandi yang aku selempangkan seorang diri

melainkan keangkuhan pria perkasa yang
selalu mengajak berdansa lalu
berlabuh

wahai adinda
topan itu terus memburu
menggilas sandaran
kendati kita tahu mereka pernah melepas kita
melaut bersama
tantang keangkuhan


Bima/13/05/2002

Lanjut Coyyyy......

KEMAS SYAIR CINTA USAI PERJALANAN PANJANG

-:Mitha

syair cinta baru saja kurampung
dengan legenda telaga bidadari
pada pelepah bukit usai perjalanan panjang

ia telah kukemas rapi bersama
gelombang yang angkuh
tapi ia tidak sombong

sebelum sujud di tepi pulau
kuterima salam cinta yang kau kirim
lewat isyarat tanah
ia begitu syahdu merapat
hingga aku tidak ingin pulang sendiri

adinda
lembah yang membingkai pergolakan
tak mesti memberi salam terakhir
apalagi mengusung luka
tak terlampiaskan
karena di bukit itu
rumah dengan dinding syahadat sah milik kita



bajo pulau 17/03/2002

Lanjut Coyyyy......

Lukisan Tanpa Warna

-: adik eng, yoyo, dea, ocha dan ripan

kuas yang akan melukis di danau
keabadian cintamu
belum tuntas mewarnai sketsa pergolakan


tetaplah dijaga walau dengan selendang
yang kau petik dari keangkuhan gelombang
peradaban dan mengotori tanah adat
dengan jemari hati

kucium lukisan dengan sebaris
mantra kelanggengan
karena menurutku musim akan
segera datang lalu mewarnainya

dindaku
tetaplah merangkul dengan segenap cinta kasih
pahat diriku dengan sehelai uban

setelah malam pengantinmu nanti

Bima 18/02/2002

Lanjut Coyyyy......

SAJAK BUAT MITHA

Bima/13/05/2002

SAJAK BUAT MITHA I

meski telah kukalungi kau dengan ayat-ayat suci
disini hari tetap saja tak mampu membunuh cemburu
pada siapa ia akan ditaburkan ?
jejak masih membaca kegaiban
kendati kau pernah mengunci
agar di rumah itu tidak ada lagi yang
mesti dipertentangkan
“ ilalang memang jahat, “ katamu
“ iya, tapi bukankah ia akan selalu tumbuh
mengotori rumah kita, “ kataku sembari mengajakmu
menata rencana tentang kerinduan akhir


Sape/25/05/02

SAJAK BUAT MITHA II

Di atas bus dalam perjalanan pulang
tak akan pernah aku pahami
kalau saja percakapan kita
mendulang kabut tengah hari
sebab, meski tak cukup kuat landasan
perjalanan untuk mementalkan
rimba gelap itu

kita akan tetap sanggupi
menyalakan lampu-lampu
karena, kutahu gerimis subuh nanti
akan lekas kita jamu dengan syahadat
sebagai kado perjumpaan


mitha, kita tak hendak dibusur
gelap ditengah jalan
kendati isyarat kabut memahat di kaca jendela


Bima/19/06/02

SAJAK BUAT MITHA III


-:selamat ulang tahun

komedi romawi tentang pujangga yang ajaib
belum lama kutanggalkan
dari puncak misteri,
kendati badai di pematang usia merajut buih


penjelajahan dari katedral
sekedar membunuh kejemuan
belum mampu menjawab,- akankah langit lekas
bertobat dan bersujud ?


kegaiban masih paripurna,adinda
sedangkan sebuah situs kelanggengan
tetap kumaknai bahwa jalan ini memang
masih misteri


Bima/06/09/02


Lanjut Coyyyy......

DUA PUISI

NOSTALGIA II

telah lama aku membantu karang

dalam kamar kita ini, sayang

sunyi terus meruncing saja

percintaan kita dimusim penghujan kemarin

hanya berlayar saja pada kedua keningku

“ aku mungkin akan menjemputmu

di musim penghujan esok, “

telegrammu yang telah aku terima pagi tadi

“ semoga saja terkabul.”

do’aku mendamba

Bima/16/03/99




TAPI AKU, TAK MENDAMBA

TIDAK BUATMU

“tapi aku tak mendamba,tidak buatmu”

engkau menuntasi aku

dari lingkaran sepotong bulan

yang mencicini

bumi batang diri


Bima/12/05/99


Lanjut Coyyyy......

Satu Jam Jadi Anti Korupsi

Sistem Administrasi dan Manajemen pemerintahan yang dikembangkan oleh para penyelenggara pemerintah di wilayah Kota Bima menarik kita cermati dan telusuri. Kenapa tidak, fakta yang bergolak tidak ubahnya dengan apa yang tengah berlangsung di Negara Timur Leste alias Timor-timur. Disana sini terjadi kebocoran. Saling tuding yang terlibat dengan yang tidak terlibat menjadi polemik tanpa ujung dan bukan lagi hal yang memalukan.

Roda perekonomian berjalan setengah-setengah. Pendidikan politik yang dihajatkan bagi masyarakat lari keluar lintasan yang telah ditentukan. Hukum dan perundang-undangan yang ditetapkan agar terwujud rasa berkeadilan berubah menjadi mesin pembunuh. Tentu saja kesemuanya itu akan mengarah pada dendam tanpa ujung.

Aksi demonstrasi dengan mengusung kepentingan masing-masing, bukan lagi menunjukan show of force dalam pembelaan hak-hak masyarakat, melainkan yang terselubung adalah upaya pengusiran disertai dengan penekanan terhadap orang-orang tertentu karena dianggap telah menodai hati nurani rakyat. Rakyat yang mana? masih harus dipertanyakan kejelasannya.


Rakyat sering kali menjadi kambing hitam dan adakalanya pula menjadi senjata demi memuluskan target-target politik tertentu. Sebuah prinsip dan perjuangan berpolitik yang sering dipertontonkan oleh para pejuang politik yang telah mengidap penyakit over paranoid. Akibatnya, saling menghargai bukan lagi yang prinsipil dan pengakuan kelebihan dan keunggulan orang diluar diri tidak dianggap. Sehingga kuat dugaan, mungkin hingga ratusan tahun ke depan bangsa ini tidak akan mencapai budaya unggul (excellent culture) sebagaimana yang diharapkan bersama.

Belum pudar dari ingatan, yel-yel anti korupsi digelorakan secara terbuka, ditandai dengan penandantanganan MoU anti korupsi. Empat unsur (Pemerintah Kota, Kejaksaan, Kepolisian dan DPRD) yang disinyalir paling banyak mengidap penyakit kriminal tersebut ikut dilibatkan. Luar biasa tentunya demi prinsip stand to change, berdiri untuk perubahan.

Saking serisusnya, puluhan meter spanduk berikut baliho ukuran super jumbo dipasang didepan mata agar disetiap inci langkah kita akan selalu diingat bahwa mengkorup adalah prilaku yang sangat jahat. Namun, anehnya, semakin banyak aturan dan kesepakatan yang diciptakan semakin banyak dan sopan pula modus operandi bagaimana mengkorup.

Hingga kini status uang rakyat senilai Rp 16,5 M masih dipolemikkan. Layaknya berita-berita siur para artis dalam infotainment. Selalu menghebohkan. Para wakil rakyat di lembaga DPRD Kota Bima tidak memiliki nyali untuk bersikap, apakah mereka yang punya atau bukan. Yang jelas uang senilai itu tidak mungkin dihabiskan sendiri oleh pemulung atau manusia tua yang keseharianya sebagai pemecah batu dilereng-lereng gunung. Lucunya bukan kepalang. Setelah mengkorup rame-rame giliran dimintai pertanggungjawaban tidak ada yang berani. Sungguh ajaib?

Kota Bima adalah Kota Bima dan tidak mungkin berubah menjadi negara Timur Leste. Sebagai catatan bahwa mengkorup tidak mengenal siapa, waktu, tempat apalagi posisi. Malah sebaliknya, semakin bagus tempat dan posisi kita berdiri akan semakin terbuka peluang untuk mengkorup, dari yang kecil hingga yang mega korupsi.

Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap Rp 16,5 M tersebut?

Keseriusan menetapkan dan untuk mengakui bertanggung jawab, belum ada yang nampak. Apalagi bentuk hukum demi statusnya. Lempar tangan demi kejelasan status hukum hanya melahirkan pukul-pukul meja dan aksi demonstrasi mempertahankan pembenaran. Adu kekuatan antara yang pro stutus dengan yang anti status tumpah ruah dijalanan merusak pandangan.

Menanam sejengkal kebaikan sama dengan mengharapkan seribu harapan. Kebaikan dan kebenaran adalah sebuah investasi dan itu masih kurang ditemukan pada para stake holder di wilayah Pemerintahan Kota Bima. Padahal terwujudnya clean governance dan kehidupan yang berkeadilan merupakan cita-cita luhur untuk membuat manusia bahagia. Bukan saja dalam line interaksi sosial, pada line antara hamba dan sang Pencipta pun sangat diperlukan.

Penggalangan kekuatan yang turun ke jalanan demi sebuah kebenaran secara politis sudah tidak layak lagi dilakukan. Eksekutif dan legislatif sudah saatnya mengedepankan rasionalitas berpolitik yang mencerdaskan, karena Rp 16,5 M harus diselamatkan. Jika sekiranya dasar keterangan hasil audit BPK yang menyatakan bahwa Rp 16,5 M itu harus dicarikan statusnya, maka unsur penyidik dari pihak Kepolisian maupun Kejaksaan dan Pengadilan tidak boleh tidak mesti dilibatkan. Kelompok yang dituding telah berbuat curang harus rela menerima dan membuka diri. Karena yang namanya bangkai sedalam apapun ditanam baunya akan tercium pula.

Pemberantasan korupsi, takut dan anti mengkorup bukan hanya pada saat sejam dilakukan seremonial penandatanganan MoU saja. Dan bukan hanya dijadikan konsep politik sebagai alat kampanye karena ingin target tertentu saja. Konsep itu harus dijalankan agar tatanan menjadi indah dan damai. Bayi yang bernama Kota Bima masih belum cukup umur untuk dianiaya. Ia masih sangat membutuhkan orang tua yang mengerti merek susu yang cocok untuk diberikan. Ia bukan Negara Timor Leste yang belum jelas status orang tuanya sehingga dengan sangat mudah bisa diecer-ecer.

Konsep pembangunan yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat sudah saatnya di rilis ulang, jika tidak ingin dituding sebagai manusia yang hanya sejam jadi anti korupsi.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima. Email:dylla18lalat@yahoo.com


Lanjut Coyyyy......

Satu Jam Jadi Anti Korupsi

Sistem Administrasi dan Manajemen pemerintahan yang dikembangkan oleh para penyelenggara pemerintah di wilayah Kota Bima menarik kita cermati dan telusuri. Kenapa tidak, fakta yang bergolak tidak ubahnya dengan apa yang tengah berlangsung di Negara Timur Leste alias Timor-timur. Disana sini terjadi kebocoran. Saling tuding yang terlibat dengan yang tidak terlibat menjadi polemik tanpa ujung dan bukan lagi hal yang memalukan.

Roda perekonomian berjalan setengah-setengah. Pendidikan politik yang dihajatkan bagi masyarakat lari keluar lintasan yang telah ditentukan. Hukum dan perundang-undangan yang ditetapkan agar terwujud rasa berkeadilan berubah menjadi mesin pembunuh. Tentu saja kesemuanya itu akan mengarah pada dendam tanpa ujung.

Aksi demonstrasi dengan mengusung kepentingan masing-masing, bukan lagi menunjukan show of force dalam pembelaan hak-hak masyarakat, melainkan yang terselubung adalah upaya pengusiran disertai dengan penekanan terhadap orang-orang tertentu karena dianggap telah menodai hati nurani rakyat. Rakyat yang mana? masih harus dipertanyakan kejelasannya.


Rakyat sering kali menjadi kambing hitam dan adakalanya pula menjadi senjata demi memuluskan target-target politik tertentu. Sebuah prinsip dan perjuangan berpolitik yang sering dipertontonkan oleh para pejuang politik yang telah mengidap penyakit over paranoid. Akibatnya, saling menghargai bukan lagi yang prinsipil dan pengakuan kelebihan dan keunggulan orang diluar diri tidak dianggap. Sehingga kuat dugaan, mungkin hingga ratusan tahun ke depan bangsa ini tidak akan mencapai budaya unggul (excellent culture) sebagaimana yang diharapkan bersama.

Belum pudar dari ingatan, yel-yel anti korupsi digelorakan secara terbuka, ditandai dengan penandantanganan MoU anti korupsi. Empat unsur (Pemerintah Kota, Kejaksaan, Kepolisian dan DPRD) yang disinyalir paling banyak mengidap penyakit kriminal tersebut ikut dilibatkan. Luar biasa tentunya demi prinsip stand to change, berdiri untuk perubahan.

Saking serisusnya, puluhan meter spanduk berikut baliho ukuran super jumbo dipasang didepan mata agar disetiap inci langkah kita akan selalu diingat bahwa mengkorup adalah prilaku yang sangat jahat. Namun, anehnya, semakin banyak aturan dan kesepakatan yang diciptakan semakin banyak dan sopan pula modus operandi bagaimana mengkorup.

Hingga kini status uang rakyat senilai Rp 16,5 M masih dipolemikkan. Layaknya berita-berita siur para artis dalam infotainment. Selalu menghebohkan. Para wakil rakyat di lembaga DPRD Kota Bima tidak memiliki nyali untuk bersikap, apakah mereka yang punya atau bukan. Yang jelas uang senilai itu tidak mungkin dihabiskan sendiri oleh pemulung atau manusia tua yang keseharianya sebagai pemecah batu dilereng-lereng gunung. Lucunya bukan kepalang. Setelah mengkorup rame-rame giliran dimintai pertanggungjawaban tidak ada yang berani. Sungguh ajaib?

Kota Bima adalah Kota Bima dan tidak mungkin berubah menjadi negara Timur Leste. Sebagai catatan bahwa mengkorup tidak mengenal siapa, waktu, tempat apalagi posisi. Malah sebaliknya, semakin bagus tempat dan posisi kita berdiri akan semakin terbuka peluang untuk mengkorup, dari yang kecil hingga yang mega korupsi.

Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap Rp 16,5 M tersebut?

Keseriusan menetapkan dan untuk mengakui bertanggung jawab, belum ada yang nampak. Apalagi bentuk hukum demi statusnya. Lempar tangan demi kejelasan status hukum hanya melahirkan pukul-pukul meja dan aksi demonstrasi mempertahankan pembenaran. Adu kekuatan antara yang pro stutus dengan yang anti status tumpah ruah dijalanan merusak pandangan.

Menanam sejengkal kebaikan sama dengan mengharapkan seribu harapan. Kebaikan dan kebenaran adalah sebuah investasi dan itu masih kurang ditemukan pada para stake holder di wilayah Pemerintahan Kota Bima. Padahal terwujudnya clean governance dan kehidupan yang berkeadilan merupakan cita-cita luhur untuk membuat manusia bahagia. Bukan saja dalam line interaksi sosial, pada line antara hamba dan sang Pencipta pun sangat diperlukan.

Penggalangan kekuatan yang turun ke jalanan demi sebuah kebenaran secara politis sudah tidak layak lagi dilakukan. Eksekutif dan legislatif sudah saatnya mengedepankan rasionalitas berpolitik yang mencerdaskan, karena Rp 16,5 M harus diselamatkan. Jika sekiranya dasar keterangan hasil audit BPK yang menyatakan bahwa Rp 16,5 M itu harus dicarikan statusnya, maka unsur penyidik dari pihak Kepolisian maupun Kejaksaan dan Pengadilan tidak boleh tidak mesti dilibatkan. Kelompok yang dituding telah berbuat curang harus rela menerima dan membuka diri. Karena yang namanya bangkai sedalam apapun ditanam baunya akan tercium pula.

Pemberantasan korupsi, takut dan anti mengkorup bukan hanya pada saat sejam dilakukan seremonial penandatanganan MoU saja. Dan bukan hanya dijadikan konsep politik sebagai alat kampanye karena ingin target tertentu saja. Konsep itu harus dijalankan agar tatanan menjadi indah dan damai. Bayi yang bernama Kota Bima masih belum cukup umur untuk dianiaya. Ia masih sangat membutuhkan orang tua yang mengerti merek susu yang cocok untuk diberikan. Ia bukan Negara Timor Leste yang belum jelas status orang tuanya sehingga dengan sangat mudah bisa diecer-ecer.

Konsep pembangunan yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat sudah saatnya di rilis ulang, jika tidak ingin dituding sebagai manusia yang hanya sejam jadi anti korupsi.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima. Email:dylla18lalat@yahoo.com


Lanjut Coyyyy......

MENJALA LANGIT, MENDULANG BADAI

(Sebuah Catatan atas Alih Kelola SBW, Meretas Kembali Jalur Kamunikasi)


Sebuah palu ditabuh. Satu keputusan akhirnya ditetapkan, menggema dimana-mana, lewat berita koran maupun dari mulut ke mulut. Keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, yakni hak pengelolaan Sarang Burung Walet (SBW) yang berada di Kecamatan Sape. Pengelola yang memenangkan tender dua tahun lalu dengan tertatih harus mengelola aset yang menjadi komoditas unggulan dan andalan daerah ini dan dengan tertatih pula harus jujur pada pemerintah bahwa dirinya tidak mampu lagi melanjutkan untuk mengelola. Sebuah alasan rasional yang jauh dari rekayasa bagi seorang pengusaha yakni dalam perjalanannya memetik hasil selalu menuai badai: merugi dan tidak kondusif dalam internal perusahaan.
Saat ini, sebuah pengakuan tertulis dilayangkan. Rasa kaget dan panik pada diri masing-masing panitia tender bukan kepalang. Sesuatu yang tidak pernah dibanyangkan sejak dua tahun lalu. Hal itu karena, selain harus menjaga kredibilitas, pihak panitia yang di dalamnya menyatu para pejabat dan orang-orang yang selama ini memahami dan tahu benar seluk beluk hukum-hukum dan prosedur tender, harus mengamankan sebuah kebijakan orang-orang tertentu. Dalam arti bahwa, para pemangku tersebut akan mengalami phobia yang berlebihan manakala berbuat yang dianggap melecehkan sebuah titah, tidak amanah.


Terlepas benar atau salah, pada saat itu sebuah dinamika direkam dan diabadikan oleh sejumlah koran. Mereka mengomentari setiap inci moment yang dianggap memiliki nilai wah bagi sebuah pemberitaan. Mengomentari intrik-intrik pemenang, sedangkan pada yang kalah dianggap tidak mahir memainkan link-link dan tekhnik-tekhnik pemenangan. Bahkan ada yang mengutip sebuah pernyataan bernada dendam dari orang-orang penting di daerah ini dalam sebuah head line mereka. Namun demikian, semua itu tidak perlu disikapi dengan sangat berlebihan mengingat sebuah historical moment tentu saja tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang mewakili realitas masa lalu. Karena kebenaran absolut dari sebuah realitas hanya ada pada peristiwa yang tidak akan pernah berulang.

Hari ini, ditetas oleh hari kemarin dan hari yang akan datang bergatung pada kemudi hari ini. Sebuah siklus falsafah peradaban yang pernah manjur sejak jaman Yunani Kuno, kendati banyak diantara kita yang tidak sreg dengan ungkapan itu. Kita tahu bahwa orang-orang Yunani Kuno walaupun hidup pada jaman yang kita anggap Kuno tidak pernah menganggap kuno petuah leluhur mereka. Mereka sangat tahu diri dan memahami sebuah falsafah yang pernah mengharu biru. Kepintaran mereka sulit ditandingi bahkan dunia mencatat banyak filsuf lahir dari sana.

Sebuah surat pengunduran diri; bukti ketidak mampuan untuk mengelola dari Dir CV. Karya Tunggal resmi diterima panitia dan tentu hak pengelolaan SBW pun akan beralih ke tangan pemenang kedua yakni CV. Khalifah Bugis. Rupanya pihak pemerintah memilih jalan untuk tidak melakukan tender ulang. Sebuah langkah yang menurut beberapa kalangan dianggap sangat tepat berdasarkan berbagai sudut pandang. Plus-minus, untung-rugi bahkan pada sudut pandang historis; hak dasar sebagai ahli waris.

Selain pelimpahan hak mengelola, yang tidak kalah menariknya adalah kewajiban menyerahkan harga penawaran yang sama yakni Rp 1,7 M. Padahal dulu, kalahnya perusahaan yang kini sedang mengelola tesebut, karena nilai penawarannya lebih rendah. Kalau kita benar-benar ingin menegakkan aturan kenapa tidak mesti memberlakukan nilai penawaran yang sama pula yakni sebesar nilai penawaran yang pernah diajukan dan dulunya dikalahkan? ‘’Dengan tidak menaruh rasa curiga, pernahkah pemerintah berpikir jauh kedepan bahwa apa yang pernah dilakukan perusahaan sebelumnya juga akan terulang kembali? Barangkali ini hanya kekhawatiran yang tidak berdasar saja. Insya Allah,’’harap salah seorang rekan wartawan di Pemkab Bima, beberapa waktu lalu. Namun, dengan berbagai pertimbangan dan motivasi ingin menyelamatkan aset, nilai berapa pun tidak menjadi soal maka CV. Khalifah Bugis (pemenang kedua) dengan semangat sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai; Bismillah jalur komunikais kembali diretas.

MERETAS JALUR KOMUNIKASI

Kebiasaan bermain-main dengan sebuah aturan memang masih belum bisa dihilangkan. Pada sektor swasta maupun pemerintah. Padahal sebuah aturan dibuat demi tertata dan terjaganya suatu proses sistem yang melingkupi kehidupan berbangsa dan bernegara agar tidak dituding sebagai kelompok yang tidak melek dengan tata aturan. Betapa akan dicap sebagai pewaris manajemen acak-acakan kalau saja aturan yang kita bangun sering dipelintir dan dibelokkan, tidak mampu dilestarikan dalam hati sebagai kemudi diri apalagi dalam sebuah organisasi yang tugasnya memang melayani kepentingan publik. Yang lebih penting dan urgen dilakukan adalah bagaimana konsistensi menegakkan aturan dan tata tertib yang telah ditetapkan. Kalau belum bisa, sekarang saatnya untuk serius berlatih. Bukankah kita sama-sama pernah merasakan ‘tidak enaknya’ kalau saja diperlakukan tidak baik berdasarkan aturan-aturan, membelokkan berdasarkan SMS atas nama sebuah policy.

Apa yang bisa dipetik atas kasus tersebut? Adakah jaminan bahwa pada proses selanjutnya tidak akan terjadi hal yang memalukan seperti sekarang ini? Dari catatan penulis baru kali ini seorang pengusaha SBW menyerah di tengah jalan. Terlepas dari apa yang memotivasinya, yang jelas sikap tersebut sangat memukul kredibel panitia (pemerintah) yang dulunya dinilai terlalu agresif mengejar nilai penawaran ketimbang faktor-faktor yang lain (baca: keselamatan aset). Apa jadinya kalau saja disetiap moment pelaksanaan tender terjadi ‘lempar handuk’ seperti itu?

Alih kelola SBW dianggap sebagai titik awal dan pembuka komunikasi antara pemerintah dan pengelola SBW yang selama ini mandek. Harapan baru pun muncul terutama pada konsistensi pembayaran nilai kontrak yang telah terlanjur dijadikan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten. ‘’............. Mau atau tidak mau, harus mau. Karena saatnya dalam SBW ini nurani keluargalah yang berbicara,’’tegas Dir. CV Khalifah Bugis Drs. H Nadjib HM Ali, (Garda Asakota, edisi: 316 Senin, 18-19 Februari 2008).

Sebuah komitmen yang harus dihargai semua pihak. Selain itu tersirat sebuah isyarat bahwa selama lebih kurang dua tahun antara pemerintah dan pengusaha terjadi pergolakan yang luar biasa. Arus komunikasi tersumbat, tidak jalan sebagaimana mestinya. Kendati di daerah ini tidak hanya satu pengusaha, namun sebagai pemerintah yang memiliki jalur penanganan secara comprehention harus membina kemitraan, hubungan baik dengan pengusaha apa pun. Karena paradigma pembangunan berpola kemitraan, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri.

Sebuah harapan bisa saja menjelajah dan menerawang kemana pun ia kehendaki. Dan untuk menghindari terulangnya hal yang sama maka yang perlu dicermati pertama, pemerintah daerah agar lebih berhati-hati, cermat dan cerdas dalam memenangkan perusahaan yang akan diberi hak mengelola. Sekiranya masih diberlakukan aturan ‘hak sebagai ahli waris penemu gua’ mari kita perhatikan bersama. Bukan berarti mengkultuskan hal-hal yang irasional. Mari mengasumsikan hal seperti itu sebagai wasiat yang memang harus dilaksanakan. Dan sebagai sesuatu yang telah diwasiatkan, kalau saja tidak dilaksanakan maka bukan rahasia lagi suatu saat akan ada ganjarannya. Kedua, tidak mengedepankan untung lebih besar dan melimpah yang memaksa pengusaha untuk memanen belum waktunya. Hal itu akan menghancurkan keselamatan habitat yang ujung-ujungnya punah. Bukankah mengharap untung lebih besar tidak dianjurkan oleh agama yang kita anut. Ketiga, mari kita berpikir untuk hari esok dengan mengedepankan saling menghargai dan mempercayai. Andai saja engkau berpikir bahwa aku saudaramu munking langkah yang menjengkelkan itu tidak engkau turuti. Kalau saja engkau mau mendengar dan merasakan isi hatiku maka aku yakin engkau tidak akan menelan lundahmu kembali. Andai saja engkau jujur pada dirimu, aku yakin engkau tidak akan memiliki musuh yang engkau sendiri akan melawannya. Dulu aku berpikir bahwa engkau tidak bermain-main dengan keputusanmu untuk memenangkan yang bukan termasuk dalam persyaratan-persyaratan tambahan, ternyata engkau serius menerobos jaring itu. Dulu aku berpikir kita akan sama-sama menjaga titah leluhur, karena apa yang dititahkan leluhur dan kalau pun dibelokkan maka murka akan datang. Aku mengungkit leluhur bukan berarti telah melupakan Allah Azza Wajalla, namun karena leluhur juga mengkaji dan memaknai huruf demi huruf dalam al-quran dan al-hadis maka aku harus mengingat-ngingatnya pula. Bahkan dulu dengan rasa putus asa aku pernah menulis dalam catatan harianku layaknya seorang bijak adalah angan-angan luhur telah gagal untuk membuat manusia bahagia.

Sebuah palu ditabuh. Komunikasi menggema. Semuanya akan berpaling pada diri masing-masing. Jangan memaksakan kehendak yang membuat aku harus menyatakan memang kamu begitu; selalu menjala langit, mendulang badai.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima




Lanjut Coyyyy......

Tahajud ilalang (TI) adalah antologi puisi saya yang pertama. Layaknya sebuah karya sastra terutama karya puisi, mengambil salah satu judul puisi sebagai judul sebuah buku dianggap lumrah dan bukan menjadi hal yang diharamkan. Dalam antologi ini, teman-teman juga bisa menikmati 'Lukisan Tanpa Warna', sebuah antologi yang cukup menarik. Bagi teman-teman yang berminat bisa memesan via, Facebook; dylla18lalat@yahoo.co.id, Email: dylla18lalat@yahoo.com
Lanjut Coyyyy......