dylla lalat

MELUKIS KEGELISAHAN LEWAT SASTRA MEMBUSUR RUHANI MELALUI PENA

Demo ‘Gempur-Dae’ ?!

(Turut Rembuk atas Mutasi Balas Dendam)
Bisakah manusia hidup tanpa harapan? Atau bisakah manusia hidup tanpa adanya keadilan? Bermanfaatkah keadilan dan harapan? Tidak ada yang tidak mungkin jika manusia ingin berbuat. Hari ini, hidup bukan lagi dirasa sebagai tantangan melainkan sebagai ancaman. Ancaman untuk tidak mendapat bagian demi melanjutkan kehidupan yang proposional dan tidak terkesan menjijikkan.

Menjalani hidup adalah merasakan marah untuk melawan ketidak adilan. Siapa yang dilawan? Tentu, pemerintah yang berubah wajah menjadi penguasa secara intelektual mengalami kekurangan apalagi dalam menjalankan tugas. Mereka sulit membedakan rasa emosi dan empatinya, malah membiara dendam berkepanjangan. Akibatnya muncul orang-orang yang berani melawan yang ia anggap musuh.

Pemerintah seharusnya menjadi abdi rakyat agar memiliki keseimbangan dan titik temu antara yang dilayani dan yang melayani. Pemerintah adalah milik rakyat. Rakyat bisa dari kalangan PNS, LSM, Swasta dan lain-lain. Pemerintah adalah orang-orang yang didalamnya bisa dipercaya, memiliki inteligensi yang tidak diragukan untuk mengelola arah kemudi agar berjalan sesuai mekanisme atau rel yang telah ditentukan. Kalau dalam lajunya dinilai tanpa kendali lalu pengemudinya tidak merasa diri ada sesuatu yang tidak beres maka perlu dipertanyakan kondisi kejiwaannya.

Pemerintahan adalah lembaga dan tidak boleh dibiarkan berjalan seakan-akan tanpa pengemudi.
Landasan untuk menggerakkan lembaga itu adalah kepentingan dan kebutuhan rakyat. Haram hukumnya mengelola diluar jalur kepentingan itu. Orang-orang yang dipercayai mengelola tersebut sebelum melaksanakan tugas terlebih dahulu disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, untuk menjaga terjadinya hal yang sangat memalukan; menampar muka rakyat pemberi mandat. Akan menjadi apa bila lembaga yang dianggap sebagai tangki moral negara ini, justru mempertontonkan kebobrokan di depan rakyat?

Ibrahim Bin Asy-Syaikh Shalih Bin Ahmad Al-Khuraishi berpendapat, bahwa setiap amalan dan ucapan seseorang akan dipandang benar dan dapat diterima jika berdasarkan aqidah yang benar. Apabila aqidahnya tidak benar, maka setiap amal dan ucapannya akan menjadi batal. Setiap kita adalah pemimpin. Ibrahim tidak sedang menggurui. Ia hanya berbagi untuk saling mengingatkan bahwa manusia terutama yang beragama islam diwajibkan beraqidah, apalagi kita sebagai pemimpin atau calon pemimpin. Mengelola pemerintahan pun harus dilandasi aqidah yang benar, tidak berpura-pura.
Institusi pemerintah harus dijadikan laboratorium untuk menguji sejauhmana rasa empati, tanggungjawab terhadap kepentingan masyarakat diatas kepentingan politik atau golongan.

Sebagai pemimpin kita harus berjiwa besar menjalankan tugas dan fungsi dengan mengedepankan semangat dan kekuatan akhlak. Karena selama ini sangat jarang kita menemukan pemimpin yang memiliki akhlak yang dapat dijadikan contoh dan panutan. Aqidah adalah moral. Moral adalah akhlak. Aqidah, moral dan akhlak adalah prinsip untuk mengkrostruksi hubungan secara individu (kedalam) maupun kemasyarakatan (keluar) menuju kemenangan abadi dalam konteks keduniawiahan maupun ukhrawian. Bekal aqidah sangat penting karena setiap kita adalah pemimpin. Pemimpin adalah imam dan apa pun yang disampaikan oleh imam akan didengar oleh makmum. Olehnya itu, pemimpin yang tidak memiliki basic aqidah yang jelas kata Rasulullah, maka tunggulah kehancuran.

‘Gempur-Dae’
Sejumlah pegawai (PNS, Sukarela dan Honda) dengan nama Gerakan Muda Pemerhati Aparatur dan Demokrasi Daerah (Gempur-Dae) turun jalan. Mereka berorasi dan meminta kepada Dewan, agar pemerintah (BKD beserta kroninya) segera dipanggil karena dinilai kebijakan memutasi terhadap sejumlah pegawai tidak wajar; syarat politis. Ada aroma ketidakadilan dalam pemberlakuan aturan bagi pegawai yang tidak mendukung calon incumbent. Mereka meminta pegawai dan pejabat yang tergabung dalam tim Bima Akbar Bersatu (BAB), Sekda, Unit Pelaksana Tekhnis Dinas (UPTD), Kepala Dinas, kepala-kepala sekolah sampai penjaga sekolah yang digiring untuk kepentingan pasangan incumbent juga harus diberikan hukuman.

Aksi Gempur-Dae tersebut menarik kita diskusikan dan debate-able dengan menggunakan rasionalitas dan netralitas kita dalam menyikapi dan menghadapi tuntutan yang mereka usung. Jika yang mereka suarakan dianggap sebagai suara pemberontakan, gerakan yang dilakukan sebagai bentuk tidak adanya loyalitas dan dedikasi, menurunkan kredibel pemerintah, rasanya sangat kekanak-kanakan dan bukan zamannnya sesama aparatur dipandang sebagai pemberontak. Krediblenya sebuah organisasi dapat diukur dari seberapa serius seorang top-leader menjalankan fungsi manajerialnya untuk menggerakkan komponen pendukung, membangun komunikasi yang sehat tanpa memandang remeh keberadaan mereka.

Kita sudah terjebak dan salah menafsirkan arti loyalitas dan dedikasi yang membawa petaka tersebut. Loyalitas sering kita tafsirkan sebagai apa pun bentuk aktivitas yang dilakukan dan perintah apapun yang diberikan pimpinan, wajib hukumnya ditaati dan tidak perduli hal tersebut salah, melanggar aturan, menyalahi ketentuan hukum dan perundang-undangan. Alangkah kebablasanya kalau pola loyalitas seperti itu masih dijunjung tinggi. Loyalitas harus dimaknai secara luas yakni bagaimana seorang pegawai menjalankan tugas pokok dan fungsinya demi kepentingan organisasi dalam melayani kepentingan publik (rakyat) bukan demi kepentingan pribadi atau politik.

Mengapa ‘Gempur-Dae’ dilakukan? Salahkah mereka menuntut adanya pemberlakuan aturan yang sama? Adanya asap karena ada api. Mereka paham dan yakin apa yang disuarakan hari ini merupakan pondasi yang kelak siapa pun menjadi pemimpin (bupati,walikota, Gubernur dll) atau pimpinan mereka tidak lagi memperlakukan aparatur terutama PNS untuk kepentingan pribadi.
‘’Gempur-Dae lahir untuk menjaga agar aparatur tetap profesional, tidak mudah digiring untuk kepentingan politik penguasa,’’ujar Zainuddin SS, penggagas ‘Gempur-Dae’. ‘’Mereka yang dimutasi merupakan pembelajaran politik,’’bantah Wakil Bupati menanggapi aksi Gempur-Dae, di salah satu harian lokal. Saat upacara gabungan di halaman Kantor Bupati, Wabup juga menegaskan bahwa mutasi, rotasi yang dilakukan bukan karena balas dendam. Mereka, kata Wabup, hanya dipindah tugaskan dari tempat yang lama ke tempat yang baru. Kontan, ribuan pegawai yang hadir memberikan applaud dan gerutu. Dan tentu, ada seribu satu makna yang bisa kita berikan dibalik Applaud dan gerutu tersebut karena dalamnya hati ribuan pegawai siapa yang tahu.

Dalam keadilan terdapat kehormatan. Kita hidup tidak ada yang tidak menginginkan kehormatan dan keadilan. Sebagai kebajikan utama umat manusia, kehormatan, kebenaran dan keadialan tidak bisa diganggu-gugat.
John Rawls, dalam A Theory Of Justice (Teori Keadilan), menyatakan setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar kepada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Keadilan, kata Rawls tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warga negara dianggap mapan; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial.
Fakta tidak bisa dielakan bahwa apa yang terjadi hari ini ketidak adilan yang dinilai oleh ‘Gempur Dae’ merupakan bias dan rentetan Pemilukada yang dihelat beberapa bulan lalu, yang hingga kini menyisahkan sengketa yang membodohkan rakyat. Sapu bersih dalam arus rotasi, mutasi, promosi dan penyusunan kabinet untuk mendukung lajunya program kerja pemerintahan sangat sulit dianggap sebagai sebuah kewajaran. Apalagi diangkat SDM yang tidak mendukung kinerja organisasi, malah merusak citra pelayanan publik.

Kepada semua komponen yang terlibat langsung dalam persoalan mutasi (pemerintah) juga bagi korban rotasi, mutasi, promosi bisa sama-sama introspeksi diri, tidak ada manfaatnya dendam sesama aparatur. Sudah saatnya memetakan persoalan terutama analisis penempatan SDM yang dibutuhkan organisasi yang akan melayani kebutuhan publik, secara proporsional agar tidak menimbulkan kecemburuan dan iri hati. Bagaimana pun juga aparatur tersebut digaji dengan uang rakyat. Tidak ada salahnya menciptakan suasana kerja bagi mereka agar memiliki nilai ibadah dan semuanya bisa sama-sama merasakan bahwa hidup memang bukan benar-benar sebagai ancaman. Berargumentasi, mencari pembenaran tentang rotasi dan mutasi; demi kebutuhan organisasi, yang tidak sesuai fakta di lapangan hanya akan melahirkan ledekan-ledekan.

Semua dituntut memiliki tanggungjawab moral, jika tidak kenapa ingin menjadi palayan rakyat? Pelayan rakyat bukan sekedar gagah-gagahan petenteng konsep kerakyatan. Apa yang terjadi jika peran sosial kita lebih banyak fiktifnya ketimbang sebuah ketulusan dan peran-peran cerdas atau menduniawikan semua yang suci untuk melanggar ketentuan Tuhan dan hukum negara. Memperjuangkan keadilan adalah juga memperjuangkan harkat dan martabat, ‘Gempur-Dae’ benar-benar telah menggelitik demi masa depan yang bermartabat.


Lanjut Coyyyy......

Ayo Bung! Rebut Kembali

Kekuasaan adalah penggoda yang tangguh. Kendati demikian ia akan selalu dicari oleh manusia apa pun jenis kelaminya. Walaupun kekuasaan itu sendiri bukan sesuatu yang hilang sehingga ia harus cari-cari. Kekuasaan erat kaitannya dengan bagaimana menjaga agar status sosial dapat langgeng dalam waktu tertentu dan tetap stabil ketika gempuran menghujam yang muncul dari dalam maupun dari luar.

Olehnya itu, dengan kekuasaan orang bisa melakukan apa saja tergantung mentalitas dan integritas yang bersangkutan. Jadi, proses diterima dan ditolaknya seseorang dalam menjalankan kekuasaannya diatur oleh seberapa tingkat kualitas moralnya. Moralitas adalah kata kunci yang patut dijadikan kitab rujukan karena ia tidak akan pernah habis ditelan waktu.

Indonesia sudah lama merdeka. Tidak bisa diragukan dan dipertanyakan kembali siapa sesungguhnya yang paling berjasa memerdekakan negeri ini. Semua rakyat bersatu mengangkat senjata. Negeri ini merdeka bukan atas perjuangan salah seorang saja melainkan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kita semua sepakat mereka adalah pahlawan. Dan tanpa perduli apakah pahlawan Nasional, Daerah atau pahlawan Lokal yang jelas mereka tetap pahlawan.



Tanpa pamrih, embel-embel dan uang duka mereka telah mengorbankan jiwa, raga, keluarga dan sanak saudara demi sebuah pondasi yang kelak menjadi kekuatan kita untuk melawan kebathilan dan melanjutkan perjuangan. Jika saja masih ada yang belum paham dan tahu tentunya masih banyak catatan dan lembaran sejarah yang bisa dijadikan rujukan. Agar kita tidak terjebak menghabiskan energi menganggap mereka sebagai pahlawan kesiangan.
Ada banyak model dan modus agar dapat melanjutkan nilai-nilai kejuangan yang pernah tertanam tersebut, yang halal dan memenuhi standar hukum normatif tentunya. Namun anehnya lebih banyak disukai dan ditempuh yang melanggar etika dan norma. Sehingga dianggap hebat. Ujung-ujungnya pelakunya dinobatkan sebagai pahlawan. Destruksi pemberian simbol dan langgam seperti itu tanpa terasa sudah membumi dalam pergaulan dan kehidupan kita. Seperti dihipnotis kita tidak mampu keluar untuk melawan.

Sebenarnya hari ini, akan banyak tumbuh pahlawan sejati yang akan benar-benar memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Mereka lahir dari latar belakang sosial yang berbeda namun sangat dihormati oleh rakyat sendiri. Misalnya, ada yang PNS, Ketua Dewan dan anggota Dewan, Akademisi, Bupati, Wali Kota, Gubernur, Presiden dan lain-lain. Namun karena situasi dan kondisi seakan-akan paceklik tanpa merasa berdosa mengharuskan kita merampok hak-hak rakyat. Rakyat yang manakah yang sebenarnya kita perjuangkan kepentingannya? Sebuah tanya yang terkesan ngigau, bukan!?.

Background dan tempat kita berdiri bisa berbeda-beda dan kita bisa mendulang simbol kepahlawanan di dalamnya. Sepanjang kita alim dengan hal-hal yang tidak seharusnya kita perbuat. Bukankah lebih baik kobarkan semangat heroik untuk tidak merampok hak rakyat ketimbang menjadi PNS, Hakim, Jaksa, Ketua Dewan, anggota Dewan, Akademisi, Bupati, Wali Kota, Gubernur, Presiden dan lain-lain yang selalu menebar wajah palsu dan kepura-puraan?

MEMBANGUN SISTEM PERLAWANAN
Interpretasi simbol dan nilai-nilai kepahlawanan yang kebablasan seperti itu tugas semua pihak untuk memperbaikinya dengan sebuah basis yang baru dan lebih bertahan lama. Walaupun membangun sebuah sistem itu bukan hal yang mudah dan gampang. Jika semua komponen commit, keyakinan untuk menghadapi paradoks yang awalnya sangat banyak dihadapi satu demi satu mudah dieliminasi.
Adanya sistem karena adanya jaringan. Dalam jaringan mutlak dibangun sebuah sistem. Sistem akan berkaitan erat dengan rezim dan dinasty yang tentunya kelak akan melahirkan ideologinya tersendiri. Ideologilah sebagai spirit perlawanan kendati harus menerima hujatan, cacian, pelecehan, tudingan serakah bahkan sebagai bandit sekalipun. Sebagai sebuah konsekwensi, kemudi perlawanan akan terus menerus digelorakan sebagai ujian terhadap ideologi tersebut. Sehingga kita tidak sanggup membedakan banditkah mereka atau pahlawan?
Sebuah ideologi yang jelas arahnya, disertai prilaku disiplin yang ketat dapat mencegah orang untuk menjadi serigala di dalam situasi yang serba palsu. Spirit kepahlawanan ini disadari bukan upaya menggurui secara kolektif sehingga dianggap sok suci dan sok bersih, melainkan sekedar menyampaikan niat untuk bertegur sapa antar sesama, karena yang kita perjuangkan adalah kepentingan rakyat dan anak bangsa. Bukankah saling mengingatkan itu dianjurkan demi mencegah menyebarnya kemungkaran.
Sebagai manusia yang dianggap memiliki latar belakang yang jelas secara akademik maupun sosial, adanya reaksi yang membabi buta seperti ini cukup membuat kita sangat malu. Bagaimana tidak, dari awal kita telah mengclaim akan selalu memprioritaskan kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Kondisi yang sangat riskan tidak sepatutnya disepelekan dan berpura-pura tidak tahu akan akibat yang muncul. Kecuali kita tidak lagi memiliki rasa malu ketika kemudian dicaci dan dituding sebagai bandit karena tidak mampu mengakomodir kepentingan rakyat.
Ada anggapan bahwa yang seharusnya menjadi lokomotif memperjuangkan kebutuhan, kepentingan dan nasib rakyat adalah engkau yang kini berada di Dewan sesuai dengan sebutan para jelata, ‘Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)’. Tidak berarti yang di lembaga dan institusi lain tidak dianggap penting peranannya. Ibarat sebuah kereta api. Ada yang menjadi gerbong, lokomotif dan rel. Masing-masing memiliki peran dan tanggung jawab yang kelak jelas kalkulasi dosa dan murka yang diperoleh. Bukan malah sebaliknya melarikan diri, bertindak bodoh, tidak tahu diri, memperkuat kepentingan pribadi dan politik partai.
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan rumah rakyat tempat segala persoalan yang berkaitan dengan rakyat akan bermuara dan memiliki nilai responsible tinggi. Agak berbeda dengan eksekutif dan lembaga-lembaga lainnya, kendati tetap membicarakan kepentingan rakyat namun secara emosional kurang memiliki kedekatan karena jalur birokrasinya terlalu panjang. Fakta menunjukan, karena terlalu panjangnya birokrasi tersebut seorang kepala daerah (dari tingkat Kabupaten, Kota, Propinsi hingga Pusat) tidak inggat apa yang menjadi prioritas dan kebutuhan utama rakyat. Rakyat yang mengeluh kesahkan birokrasi seperti itu jamak kita hadapi.
Rakyat jangan lagi didholimi dengan kamuflase yang justru nantinya akan membuka semua tabir konspirasi konyol. Konspirasi itu akan melahirkan perlawanan dari rakyat pemilik kedaulatan tertinggi. Dalam Undang-undang diatur dan disepakati bahwa untuk menegakkan demokrasi di negeri ini siapa pun berhak menjadi pemimpin. Ia berhak memilih dan dipilih dan itu mutlak adanya.
Kita juga sama-sama sepakat bahwa tidak akan pernah melegitimasi siapa pun calon pemimpin yang jelas-jelas terbukti secara hukum mengebiri, menipu, merampas, merampok hak-hak rakyat. Mereka pantang dinobatkan sebagai pemimpin yang secara tidak langsung akan mengatur masa depan kita. Bagaimana mau mengatur dan memperhatikan nasib kita yang bukan haknya pun ia rampok?
Sebagai catatan, pahlawan sejati adalah bagaimana ia mampu melangkah memperbaiki terutama, keseimbangan mental terhadap kekuasaan yang selalu menggoda dalam segala situasi apalagi bertahan dari lambang yang memaksa untuk berperang melawan, demi kematian yang terhormat atau jihad. Menjadi penguasa pun bukanlah pahlawan. Ia dicurigai banyak disarangi koruptor yang cepat atau lambat akan diadili.
Sejarah akan mencatat siapa yang sesunguhnya pahlawannya rakyat atau banditnya kekuasaan. Siapa yang menilai? Akan ada bukti yang bisa dengan mudah diperoleh. Ayo bung! Rebut kembali.

Lanjut Coyyyy......

Yang Datang dan Yang Pergi

(Catatan Menyambut Tahun 2010 Pisah Dengan Tahun 2009)
Membaca Bima pada tahun sebelum 2010 menggiring kita pada suasana saat membaca cerita-cerita silat, lucu, unik atau layaknya cerita Kopingho dan Wiro Sableng. Kisah pendekar yang selalu hadir dengan penutup mata sebelah tersebut, juga dikenal dengan sandi 212. Bagi anda yang telah tuntas membacanya tersirat ia dikemas untuk menghibur karena jalan ceritanya sangat lucu, banyak intrik, tokoh yang dibangun penuh keunikan dengan semangat membela kebenaran. Nampak jelas bahwa si Bastian Tuto, menggarap cerita tersebut bukan hanya asal menjadi sebuah cerita alias cerita kacangan, melainkan digarap penuh daya dan upaya maksimal memenuhi standar layaknya sebuah fiction.


Hanya saja yang jarang pembaca temukan yakni adanya unsur pornografi dan cumbu-cumbuan dari awal hingga akhir cerita seperti cerita-cerita pop kebanyakan. Demikian pula halnya dengan serial Kopingho. Kisah pendekar China ini begitu sempurna diurai oleh Asmara Dana, sehingga tidak heran mampu menyedot jutaan pembaca. Walau kita semua sadar dan paham termasuk penulis cerita tersebut bahwa yang bisa menjadi pendekar dalam sebuah cerita bukan saja dia yang dari China, siapa saja boleh dari mana pun dia. Bagi anda yang pernah membaca dua cerita tersebut tidak perlu penulis ceritakan lagi di sini. Sedangkan bagi anda yang belum, tentu saja tidak cukup ruang dan waktu bagi penulis untuk mengelaborasinya kembali. Yang pasti cerita yang dimaksud diatas, pada zamannya sangat banyak yang menggandrunginya bahkan tidak kalah pamor dengan cerita Harry Potter yang sekarang lagi-in.
Tahun 2009 adalah tahun penuh harapan ketika berada pada ujung Tahun 2008. demikian pula sebaliknya untuk Tahun 2010 ini, kita sudah banyak menitipkan harapan di ujung tahun 2009 yang baru lewat. Dalam pigura 2009 ada banyak kleodoskop yang mengharu biru. Dari persoalan kecil sampai persoalan besar, dari urusan dunia hingga urusan akhirat. Dari urusan dendam politik hingga berpelukan mesrah karena telah memenangkan skenario, strategi melumpuhkan lawan.
Tokoh- tokoh, figur, kaum kerabat datang dan pergi, gugur satu-satu. Semuanya bersiklus sesuai garis edar mengikuti grand-designe yang telah ditentukan. Tidak ada yang berani menantang. Hukum alam dan hukum Tuhan berpadu menguji dan menggugah nurani kita sebagai manusia. Jutaan kepala antara kita, tentu ada yang buta, setengah buta bahkan hanya menatap kosang tak perduli. Ada pula yang berpura-pura menjadi pendekar nurani membantu dan menjadi hero sesaat ketika menghedaki sesuatu dari yang tengah dibantu. Proses yang seperti itu seakan-akan dipaksakan mengalir bagai air lalu alamiah saja sifatnya.
Prilaku yang dikuasai oleh imajinasi-imajinasi tersebut memungkinkan manusia lupa diri, buta akan barometer keintegritasan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, berbangsa, berkelompok bahkan dengan yang Maha Kuasa sekalipun. Mudah-mudah kita termasuk dalam golongan yang selalu serius dengan derita dan duka teman-teman yang tengah diuji tersebut. Duka dan derita adalah cermin yang tak pernah kabur. Anehnya kita sendiri yang suka mengabur-ngaburkannnya secara berjamaah maupun individual. Seakan-akan humanitas dan solidaritas telah sirna. Duka dan derita adalah corong yang akan menjembatani kualitas lahiriah dan bathinian simpul dari mana pun ia, yang kelak mesti dipertanggung jawabkan.
Absolutisme terhadap imajinasi membayangi nilai-nilai dan fondasi religiousitas yang telah lama dibangun. Tidak diragukan lagi pola tersebut sama dengan mengukuhkan dan melanjutkan prilaku kaum nudis yang sama sekali tanpa memiliki kesamaan background budaya dan moral dengan kita. Pendekar palsu muncul merajalela dan membumi mementalkan pendekar asli tanpa pamrih. Dan itu sebenarnya bukanlah jawaban essensial terhadap eksistensi manusia.
Permasalahan yang terjadi adalah adanya krisis integritas secara menyeluruh sehingga yang terjadi adalah nafsu ingin memiliki tak terbendung. Erosi keintegritasan muncul karena tidak banyak membaca terutama ke dalam diri, mengamati dan selalu menganggap remeh orang lain. Biasanya kita hanya berebut untuk menjadi nomor wahid ketika berhadapan dengan hal-hal yang memantik puja dan puji. Ia tahu, itu bukanlah segala-galanya. Porsi kepura-puraan mengalahkan prilaku sehat dan cerdas yang menjadi benteng pertahanan diri. Kelemahan seperti ini, selalu kita perlihatkan bahkan menciptakan ketergantungan pada sesuatu yang mestinya tidak perlu;- jangankan untuk diimplementasikan diingat-ingat pun tidaklah pantas.
Bagi kita apa yang dianggap penting tahun 2010?Yang paling utama adalah bagi pemimpin atau pun yang bakal calon menjadi pemimpin dari semua golongan adalah memiliki keberanian untuk hijrah lahir dan bathin. Rapor merah di tahun 2009 harus dihapus, saatnya menatap dan mantapkan potensi diri dengan tujuan yang telah dirumuskan secara bersama-sama. Kuatkan pondasi menuju kemenangan the day after dengan tidak merampas kewenangan dan hak orang lain. Hal tersebut untuk menghindari petaka yang seketika akan mewabah. Hijrah lahir bathin dengan benar-benar tidak bernafsu memandang barang atau benda-benda yang berpotensi menggerogoti nilai kemanusiaan. Tahu tugas masing-masing dengan apa yang harus dikerjakan dan apa yang mesti tidak dikerjakan. Kita harus tampil sebagai unit reaksi cepat dalam melayani kebutuhan dan kepentingan rakyat bukan hanya memperkuat golongan tertentu saja.
Falsafah ketimuran harus benar-benar diterapkan, yang busuk segera diamputasi agar tidak menjangkiti yang lain. Jangan pernah bercermin pada falsafah kacang panjang, kendati sudah dipotong-potong ia tetap menjadi kacang panjang. Artinya yang busuk dan melanggar itu tidak perlu diberi ruang yang nantinya akan berubah racun dan itu perlunya keberanian. Kemerdekaan berpikir anak bangsa patut diberi ruang untuk berekspresi daripada mereka turun ke jalan mencaci maki dan memaksakan kehendak untuk membuat perlemen jalanan. Mereka cukup paham bahwa mengubah sebuah dinasti dibutuhkan sesuatu yang radikal bahkan revolusioner, demi terciptanya tatanan yang lebih baru dan inovatif. Mereka paham bahwa tidak benar jika selalu mengalah karena kelak mereka akan sangat mudah dikalahkan. Mereka paham bahwa kebebasan tidak ditentukan oleh penguasa melainkan oleh cara mereka berpikir dan bertindak.
Gerakan mobilisasi sosial yang mereka lancarkan sangat menentukan siapa sebenarnya calon pemimpin dan bukan hendak mengkudeta siapa yang sedang memimpin. Mereka paham mereka tidak sedang menjadi pendekar yang jago dalam cerita Kopingho dan Wiro Sableng, namun demikianlah ekspresi kemerdekaan berpikir anak bangsa yang sudah jenuh dengan skenario yang menceritakan itu-itu saja. Sudah saatnya sebagai pelayan masyarakat kita menggauli mereka dengan nurani dan rasa keadilan dengan tanpa menghindarinya. Mereka sudah mengetuk pintu kita tanpa pangkat di pundak dan di dada. Dan mereka tetap menjadi cermin yang tak pernah berubah.
Lalu siapkah kita mengakhiri cerita Kopingho dan Wiro Sableng itu dengan segala intrik silat, rekaya, unik dan lucunya? Atau justru di tahun 2010 ini kita akan lebih memperpanjang durasi episodenya dengan kisah pendekar China yang justru tidak enak dibaca?
Lanjut Coyyyy......

JANGAN MAIN-MAIN DENGAN KELAMINMU

Kalau saja, apa yang telah kita lakukan benar-benar lebih awal diketahui resikonya, maka pasti apa yang akan kita lakukan itu urung dilakukan bahkan akan kita buang jauh-jauh, seberapa pun penting dan mendesaknya ia.

Kalau saja sesuatu itu memungkinkan kita melejit; menjadi orang yang lebih dikenal tak disertai gejala tak karu-karuan, mungkin saja apa yang tersedia di bumi ini akan habis diembat. Kalau saja, apa yang telah dilakukan oleh seseorang itu dengan rasa senang akan dituruti atau diikuti orang diluar diri, maka bisa dipastikan dinamika yang kita hadapi tidak akan menawarkan darah dan air mata. Semuanya akan berjalan baik dan benar.

Manusia lahir dilengkapi dengan akal, agar ia memiliki kesadaran. Kesadaran menjalankan apa yang baik bukan saja menurut hukum agama melainkan baik, juga menurut hukum sosial kemasyarakatan. Artinya, manusia dengan hukum dan tata aturan tidak pernah bisa dipisah-pisahkan apa pun alasannya. Dan fakta, semua kita tentunya hanya bercita-cita untuk menjalankan hal itu, hari-hari dan waktu kita tetap menjadi gelap.

Manusia bisa memiliki cita-cita untuk menjadi apa saja, tergantung yang ia cita-citakan. Cita-cita menjadi milik semua manusia yang memiliki kesadaran untuk maju karena cita-cita itu sendiri adalah motivasi. Motivasi yang akan memicu gerbong ‘pemilik cita-cita’ agar tidak keluar dari lintasan yang tentu saja akan berakibat fatal. Bahkan yang mesti disalahkan adalah mereka yang tidak memiliki cita-cita, sehingga menuding orang lain macam-macam. Semuanya itu sah adanya dan tidak perlu dipertentangkan. Cita-cita adalah energi yang dengannya kita bisa bertegursapa dengan santun, bijak, penuh kekeluargaan dan persahabatan.

Hanya saja yang membedakan adalah teknik, strategi, cara dan waktu tempuh untuk menggapai cita-cita itu sendiri. Ada yang ingin mengambil cara instan, pragmatis bahkan tidak mampu membaca kedalam diri. Sehingga, yang muncul adalah penyakit meremehkan orang lain, seakan-akan hanya dirinya yang pintar, baik, benar dan hebat.

Kecenderungan sementara ini, kehebatan seseorang bukan dinilai dan diukur seberapa besar manfaat ia berbuat untuk masyarakat disekitar, melainkan seberapa Mudharat ia melaksanakan hal yang dianggap mampu mendongkrak popularitas kendati harus melawan hukum. Seakan-akan hukum menjadi tempat bersarang dan bertopengnya para kelompok kepentingan untuk berkamuflase. Seolah-olah hukum adalah sebuah wilayah yang sudah dikapling secara permanen untuk melindungi pola-pola yang tidak sehat, dan tidak bisa disentuh orang lain yang dinilai tidak memiliki kesamaan pandangan dan kosep.

Wilayah aturan, norma, etika dan hukum terkesan wilayah kebijakan. Dan tentu yang memiliki Policy tersebut hanyalah seorang atasan atau pimpinan. Wilayah kebijakan akan bisa dimiliki oleh bawahan manakala telah dimandatkan atau didelegasikan, selama itu bisa dipertanggung-jawabkan. Dengan kata lain, wilayah para pemimpin adalah wilayah eksklusif-elitis, yang penuh dengan ornamen dan simbol-simbol, full of presticious. Kendati yang lebih kuat pada ranah tersebut adalah muatan politisnya.

Banyak diantara kita, yang manakala telah berada dipuncak, dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki tidak segan-segan bermain-main dengan lingkaran itu. Membuat aturan sampai mengeluarkan keringat kemudian dengan sadar mengajak untuk bersama-sama melanggarnya. Pola menciptakan game seperti ini hampir dipastikan menjadi kebiasaan kita dan sangat tertatih untuk mau mengubahnya. Akibatnya, kita dianggap sangat kekanak-kanakan tidak mau mendengar nasihat yang sehat demi kemaslahatan bersama.

So What Can You Do With Your Country? Awal-awal membangun Indonesia, Soekarno-Hatta selalu membumikan pernyataan tersebut, yang ia kutip dari Presiden AS, John F Kennedy. Dengan harapan, semangat yang demikian bisa diwariskan pada kita saat ini. Kita semua paham bahwa membangun kepercayaan masyarakat, membangun mentelitas dan kesadaran aparatur bukan dengan pernyataan, motto dan sesumbar yang penuh dengan retorika dan simbol-simbol. Implementasi yang benar-benar sesuai dengan apa yang telah dimottokan itu yang perlu.

Membangun kepercayaan, mentalitas dan kesadaran adalah sebuah investasi dunia wal akhirat dan itu harus dimulai dari pimpinan, karena kecederungannya apa yang telah difatwakan oleh mereka tentu saja yang lainnya akan nurut. Bagi gerbongnya, ‘fatwa’ difahami sebagai ideologi yang jika tidak dilaksanakan maka akan siap mendapatkan murka.

Ada baiknya kita mengedepankan prinsip investasi adalah investasi, bukan investasi adalah politik. Manakala investasi diarahkan hanya semata-mata pada persoalan politik maka tamatlah ia. Bersegeralah untuk menghadapi pergolakan, pengerahan massa yang tentu saja akan berbuntut pada pengerusakan fasilitas dan pertumpahan darah. Hukum yang kita anut menyatakan, apa pun bentuk pengerusakan merupakan perbuatan anarkis yang melawan hukum. Sama halnya dengan mencurangi hak-hak rakyat demi kepentingan pribadi atau golongan.

Jika saja peraturan yang awalnya dihajatkan untuk menormalisasi tingkah laku dan perbuatan yang dinilai melawan, hanya menjadi pajangan layaknya barang mewah yang dipajang di super market dan toko-toko, apa yang bisa dibanggakan oleh Sang Proklamator tercinta juga masyarakat?

Hari ini melarang kami untuk berbuat sesuatu yang melanggar aturan, beberapa saat kedepan engkau sendiri memimpin yang lainya untuk menghianati. Jika benar-benar engkau tidak mampu untuk menjunjung tinggi supremasi itu maka jadilah pendekar moral yang siap mundur jika nyata-nyata sudah tidak mampu. Politik tak selamanya tidak menawarkan tragedi. Dan itu akan selalu dikenang. Ia akan selalu memunculkan kesangsian bagi siapa saja aktornya.

Seharusnya politik adalah panggung agung, wilayah dakwah untuk menebarkan syair-syair nurani dan siar-siar kemanusiaan sebagai investasi akhirat. Karena semua sadar kita akan menuju pada kematian abadi. Tak ada manfaatnya semakin garang menciptakan game-game keliru demi sebuah titah yang hanya melanggengkan kami untuk tetap awas dengan senjata ’Jangan main-main dengan kelaminmu’.

Jangan Main-main dengan Kelaminmu: Judul Novel Karya Ayu Utami

Lanjut Coyyyy......

WACANA ZAMAN I

karena doa-doa sudah tak bermakna lagi
adakah yang tersisah buat zaman
yang kita tanam dengan nurani
tegar

nurani zaman telah mencakar dalam doa-doa
karena kita saling melautkan nurani sesama
lepas

nurani zaman telah terhunus
tancap nurani doa-doa
karena doa-doa hanya buat
membantai sesama
hanyut tidak
untuk hijau anginku


nurani zaman telah tawari air mataku
karena doa-doa
sudah tak bermakna lagi


Bima 20/12/98

Lanjut Coyyyy......

PELANGI DI MATAMU?


oleh: Dylla Lalat
Jika menyukai seni musik, ada baiknya kita menelusuri syair-syair yang dilagukan kelompok band Jamrud ‘Pelangi di Matamu’ yang lagi In beberapa waktu terakhir. Gubahan syair yang benilai tinggi tentunya, jika kita serius ingin memahaminya sebagai sebuah karya yang lahir dari roh budaya dan kreatifitas. Karena roh budaya dan kreatiftas tersebut tidak bisa dimiliki oleh makhluk lain kecuali hanya manusia.
Sepintas, belajar jujur dengan perbuatan dan perkataan sesuai dengan karakter budaya manusia adalah antara lain yang bisa dipetik dari syair tersebut. Mereka hadir menawarkan kesejukan dan bukan perlawanan fisik. Mereka mengajak agar terus menjaga budaya saling menghargai untuk tidak munafik, menipu diri sendiri yang tidak sesuai dengan budaya ketimuran kita.

Jika ingin sesuatu maka sampaikan dengan santun dan tidak berliku-liku. Tidak diawali dengan melempar joke bersifat kekanak-kanakkan, agar sama-sama enak dan bisa saling menerima. Menyampaikan maksud yang baik bukan hal yang diharamkan dalam proses kehidupan manusia yang memiliki kejelasan ideologi. Asas keseimbangan dan sinergitas terhadap tugas, fungsi dan kewajiban bagi siapa pun pada lini-lini kehidupan berbangsa bernegara dan berdaerah menjadi yang utama dan prioritas. Karena siapapun kita adalah sama. Dan jika saja ada perbedaan niscaya hal tersebut betapa indahnya kalau saja ditempuh jalur musyawarah mufakat agar kita saling kenal mengenal.
Eforia saling menelanjangi di dua lembaga (eksekutif dan legislative) kini mencuat hangat memekakan telinga. Tidak jelas target dan tujuannya apa. Namun yang jelas, sandiwara yang disuguhkan tersebut hanyalah ingin memperoleh legitimasi dari masyarakat. Agar dapat dianggap bahwa para pelayan masyarakat itu telah bekerja maksimal sesuai amanat dan hati nurani rakyat.
Kesimpang siuran materi sinyalemen yang diretas beberapa anggota dewan terhadap dugaan adanya kebocoran SPPD dan sikap represif terhadap kebijakan pengadaan mobil Ranger serta beberapa item kebijakan eksekutif lainya menjadi hal penting yang perlu ditelusuri bersama. Namun tidak berarti bola yang dilempar tersebut adalah bola mati sebagai sebuah keputusan yang ditafsirkan sebagai proses menjustifikasi.
Dugaan itu sebaiknya dijadikan sebagai jalan atau informasi pembuka agar bisa ditelusuri apa sebenarnya dan sesungguhnya terjadi. Legalitas formal dan secara kelembagaan suara anggota Dewan yang konon juga sebagai bagian dari panitia anggaran tersebut harus diapresiasi sebagai langkah ingin meluruskan persoalan yang terjadi, ketimbang bermain dengan informasi dan isu-isu palsu yang tidak layak dihembuskan oleh figur-figur yang ada di lembaga terhormat kemudian dikonsumsi oleh masyarakat yang selayakanya kita didik dengan sikap dan karakter berpolitik yang sehat.
Sebagaimana yang diberitakan, bahwa nilai SPPD-gate tahun 2006 yang diributkan tersebut jelas tidak sedikit, luar biasa fantastisnya menembus angka miliaran rupiah. Artinya, hasil kerja eksekutif masa bakti tahun lalu dengan sendirinya telah sukses melewati uji publik, verivikasi dan evaluasi secara administrasi maupun secara kepatutan dan kelayakan sebagai sebuah laporan pertanggungjawaban. Kendati implementasi LKPJ pimpinan daerah di seluruh Indonesia langsung pada Gubernur, namun mustahilkah tidak dihiraukan apa yang menjadi usul saran legislatif sebagai pengawal jalannya pedati eksekutif.
Makna sebuah hubungan kemitraan antara legislatif dengan eksekutif adalah sebelum eksekutif mengeluarkan kebijakan sudah otomatis harus meminta restu dari lembaga legislatif kendati secara tekhnis dan modus operandinya tidak banyak masyarakat yang tahu. Langkah pemerintah adalah juga langkah Dewan yang menjalankan fungsi sebagai pengontrol dan pengawal. Dan pengawal yang baik dan benar adalah yang mau menegur jika dianggap keliru dan mengingatkan jika dianggap telah melampaui batas. Bukan saling menelanjangi kendati jalanan tersebut telah sama-sama dilewati dan dinikmati.
Bagaimana dengan SPPD-gate tahun lalu itu? Apa target yang ingin dicapai leglislatif yang tiba-tiba saja beringas terhadap langkahnya sendiri bersama eksekutif?. Ada pendapat mengatakan bahwa tidak semua hal bisa dijadikan komoditas politik. Dan siapa pun punya hak untuk mengeluarkan pernyataan dan pendapat. Bahkan untuk benda pendapat pun sah-sah saja adanya. Yang tidak diperbolehkan adalah berpecah belah yang mengarah pada disintegrasi demi menjunjung tinggi penafsiran yang salah dan egoisme kubu-kubu.
Semua lakon yang dipertunjukan bukan episode yang tidak bisa dituntaskan. Yang mesti dipelajari dan dikaji ulang agar tidak dianggap orang bodoh adalah sikap mempolitisasi yang tidak semestinya dipolitisir. Karena apa yang dilempar kepermukaan tidak semua masyarakat mampu mencernanya. Malah yang mesti diwaspai adalah munculnya kebingungan masyarakat yang mengarah pada reaksi berlebihan lalu ujung-ujungnya adalah instabilitas daerah.
Pembentukan panitia khusus yang diisi oleh orang-orang yang capabel dan memahami tugas yang diamanatkan, merupakan langkah terpuji untuk menelusuri jejak yang diisukan. Dan langkah itu merupakan prioritas yang dilakukan oleh Dewan. Kemudian untuk mendukung kinerja tim, keterbukaan menjelaskan hal yang sebenarnya oleh pemerintah selaku pelaksana pemerintahan sangat dipuji demi meluruskan kesimpang siuran isu-isu tersebut. Tentu dalam hal ini, kita semua tidak ingin dikatakan setengah hati dan menjadi kelompok manusia bodoh dan pintar bersandiwara. Biarlah nanti masyarakat sendiri yang menilai siapa yang layak di bagaimanakan dan yang pantas dijadikan apa. Mumpung semangat reformasi di segala leading sektor di negara ini masih sangat hangat-hangatnya.
Memang benar, dunia adalah panggung sandiwara. Semua peran maupun yang diperankan memiliki kesempatan yang sama untuk menghidupi atau mematikan, mengisi atau mengosongkan hakikatnya. Segala cipta maupun yang diciptakan akan lenyap ketika batas-batas panggung sandiwara itu juga lenyap. Tubuh dan benda-benda bergerak dalam ruang dan waktu yang sama untuk menempuh eksisitensi yang bersifat temporal. Sedangkan jiwa dan pikiran dapat bergerak tanpa batas, melebihi ruang dan waktu untuk merengkuh transedensi yang bersifat spititual.
Pola kemitraan legislatif dan eksekutif jangan dilihat hanya tiga puluh menit saja. Kehadiran dua lembaga, berikut awaknya tidak lain merupakan satu kesatuan yang layaknya mobil dan bensin; saling asah dan saling asuh. Jangan memaksakan diri untuk tidak jujur pada diri sendiri apalagi bersikap munafik (double standar). Sesungguhnya kemunafikan itu akan mendekatkan kita pada kekufuran. Tiga puluh menit bukan waktu yang pendek untuk merekonstruksi kembali nalar dan logika kita agar menjadi hamba Allah yang takut untuk bersandiwara, menebarkan lakon-lakon palsu.
Atau //mungkin butuh kursus// merangkai kata/// untuk bicara//dan aku benci///harus jujur padamu//tentang semua itu///...........................//. Atau barangkali pelangi di matamu benar-benar semakin redup, sehingga hanya mampu menyentil yang palsu-palsu saja.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima. Email:dylla18lalat@yahoo.com
Lanjut Coyyyy......

TANO LINTAS TEPIAN SENJA

bersama ombak
kita beranjak rangkul tepian

buih memercik
seperti senyum tatap kita
hingga laut berkabar pada karang


saat lintas tepian senja
rindu kita tergembok
sebelum kini

tapi terurai bersama malam
berpayung rembulan

lalu gemintang tatap bukti


Alas, 23/02/98


Lanjut Coyyyy......