dylla lalat

MELUKIS KEGELISAHAN LEWAT SASTRA MEMBUSUR RUHANI MELALUI PENA

Demo ‘Gempur-Dae’ ?!

(Turut Rembuk atas Mutasi Balas Dendam)
Bisakah manusia hidup tanpa harapan? Atau bisakah manusia hidup tanpa adanya keadilan? Bermanfaatkah keadilan dan harapan? Tidak ada yang tidak mungkin jika manusia ingin berbuat. Hari ini, hidup bukan lagi dirasa sebagai tantangan melainkan sebagai ancaman. Ancaman untuk tidak mendapat bagian demi melanjutkan kehidupan yang proposional dan tidak terkesan menjijikkan.

Menjalani hidup adalah merasakan marah untuk melawan ketidak adilan. Siapa yang dilawan? Tentu, pemerintah yang berubah wajah menjadi penguasa secara intelektual mengalami kekurangan apalagi dalam menjalankan tugas. Mereka sulit membedakan rasa emosi dan empatinya, malah membiara dendam berkepanjangan. Akibatnya muncul orang-orang yang berani melawan yang ia anggap musuh.

Pemerintah seharusnya menjadi abdi rakyat agar memiliki keseimbangan dan titik temu antara yang dilayani dan yang melayani. Pemerintah adalah milik rakyat. Rakyat bisa dari kalangan PNS, LSM, Swasta dan lain-lain. Pemerintah adalah orang-orang yang didalamnya bisa dipercaya, memiliki inteligensi yang tidak diragukan untuk mengelola arah kemudi agar berjalan sesuai mekanisme atau rel yang telah ditentukan. Kalau dalam lajunya dinilai tanpa kendali lalu pengemudinya tidak merasa diri ada sesuatu yang tidak beres maka perlu dipertanyakan kondisi kejiwaannya.

Pemerintahan adalah lembaga dan tidak boleh dibiarkan berjalan seakan-akan tanpa pengemudi.
Landasan untuk menggerakkan lembaga itu adalah kepentingan dan kebutuhan rakyat. Haram hukumnya mengelola diluar jalur kepentingan itu. Orang-orang yang dipercayai mengelola tersebut sebelum melaksanakan tugas terlebih dahulu disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, untuk menjaga terjadinya hal yang sangat memalukan; menampar muka rakyat pemberi mandat. Akan menjadi apa bila lembaga yang dianggap sebagai tangki moral negara ini, justru mempertontonkan kebobrokan di depan rakyat?

Ibrahim Bin Asy-Syaikh Shalih Bin Ahmad Al-Khuraishi berpendapat, bahwa setiap amalan dan ucapan seseorang akan dipandang benar dan dapat diterima jika berdasarkan aqidah yang benar. Apabila aqidahnya tidak benar, maka setiap amal dan ucapannya akan menjadi batal. Setiap kita adalah pemimpin. Ibrahim tidak sedang menggurui. Ia hanya berbagi untuk saling mengingatkan bahwa manusia terutama yang beragama islam diwajibkan beraqidah, apalagi kita sebagai pemimpin atau calon pemimpin. Mengelola pemerintahan pun harus dilandasi aqidah yang benar, tidak berpura-pura.
Institusi pemerintah harus dijadikan laboratorium untuk menguji sejauhmana rasa empati, tanggungjawab terhadap kepentingan masyarakat diatas kepentingan politik atau golongan.

Sebagai pemimpin kita harus berjiwa besar menjalankan tugas dan fungsi dengan mengedepankan semangat dan kekuatan akhlak. Karena selama ini sangat jarang kita menemukan pemimpin yang memiliki akhlak yang dapat dijadikan contoh dan panutan. Aqidah adalah moral. Moral adalah akhlak. Aqidah, moral dan akhlak adalah prinsip untuk mengkrostruksi hubungan secara individu (kedalam) maupun kemasyarakatan (keluar) menuju kemenangan abadi dalam konteks keduniawiahan maupun ukhrawian. Bekal aqidah sangat penting karena setiap kita adalah pemimpin. Pemimpin adalah imam dan apa pun yang disampaikan oleh imam akan didengar oleh makmum. Olehnya itu, pemimpin yang tidak memiliki basic aqidah yang jelas kata Rasulullah, maka tunggulah kehancuran.

‘Gempur-Dae’
Sejumlah pegawai (PNS, Sukarela dan Honda) dengan nama Gerakan Muda Pemerhati Aparatur dan Demokrasi Daerah (Gempur-Dae) turun jalan. Mereka berorasi dan meminta kepada Dewan, agar pemerintah (BKD beserta kroninya) segera dipanggil karena dinilai kebijakan memutasi terhadap sejumlah pegawai tidak wajar; syarat politis. Ada aroma ketidakadilan dalam pemberlakuan aturan bagi pegawai yang tidak mendukung calon incumbent. Mereka meminta pegawai dan pejabat yang tergabung dalam tim Bima Akbar Bersatu (BAB), Sekda, Unit Pelaksana Tekhnis Dinas (UPTD), Kepala Dinas, kepala-kepala sekolah sampai penjaga sekolah yang digiring untuk kepentingan pasangan incumbent juga harus diberikan hukuman.

Aksi Gempur-Dae tersebut menarik kita diskusikan dan debate-able dengan menggunakan rasionalitas dan netralitas kita dalam menyikapi dan menghadapi tuntutan yang mereka usung. Jika yang mereka suarakan dianggap sebagai suara pemberontakan, gerakan yang dilakukan sebagai bentuk tidak adanya loyalitas dan dedikasi, menurunkan kredibel pemerintah, rasanya sangat kekanak-kanakan dan bukan zamannnya sesama aparatur dipandang sebagai pemberontak. Krediblenya sebuah organisasi dapat diukur dari seberapa serius seorang top-leader menjalankan fungsi manajerialnya untuk menggerakkan komponen pendukung, membangun komunikasi yang sehat tanpa memandang remeh keberadaan mereka.

Kita sudah terjebak dan salah menafsirkan arti loyalitas dan dedikasi yang membawa petaka tersebut. Loyalitas sering kita tafsirkan sebagai apa pun bentuk aktivitas yang dilakukan dan perintah apapun yang diberikan pimpinan, wajib hukumnya ditaati dan tidak perduli hal tersebut salah, melanggar aturan, menyalahi ketentuan hukum dan perundang-undangan. Alangkah kebablasanya kalau pola loyalitas seperti itu masih dijunjung tinggi. Loyalitas harus dimaknai secara luas yakni bagaimana seorang pegawai menjalankan tugas pokok dan fungsinya demi kepentingan organisasi dalam melayani kepentingan publik (rakyat) bukan demi kepentingan pribadi atau politik.

Mengapa ‘Gempur-Dae’ dilakukan? Salahkah mereka menuntut adanya pemberlakuan aturan yang sama? Adanya asap karena ada api. Mereka paham dan yakin apa yang disuarakan hari ini merupakan pondasi yang kelak siapa pun menjadi pemimpin (bupati,walikota, Gubernur dll) atau pimpinan mereka tidak lagi memperlakukan aparatur terutama PNS untuk kepentingan pribadi.
‘’Gempur-Dae lahir untuk menjaga agar aparatur tetap profesional, tidak mudah digiring untuk kepentingan politik penguasa,’’ujar Zainuddin SS, penggagas ‘Gempur-Dae’. ‘’Mereka yang dimutasi merupakan pembelajaran politik,’’bantah Wakil Bupati menanggapi aksi Gempur-Dae, di salah satu harian lokal. Saat upacara gabungan di halaman Kantor Bupati, Wabup juga menegaskan bahwa mutasi, rotasi yang dilakukan bukan karena balas dendam. Mereka, kata Wabup, hanya dipindah tugaskan dari tempat yang lama ke tempat yang baru. Kontan, ribuan pegawai yang hadir memberikan applaud dan gerutu. Dan tentu, ada seribu satu makna yang bisa kita berikan dibalik Applaud dan gerutu tersebut karena dalamnya hati ribuan pegawai siapa yang tahu.

Dalam keadilan terdapat kehormatan. Kita hidup tidak ada yang tidak menginginkan kehormatan dan keadilan. Sebagai kebajikan utama umat manusia, kehormatan, kebenaran dan keadialan tidak bisa diganggu-gugat.
John Rawls, dalam A Theory Of Justice (Teori Keadilan), menyatakan setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar kepada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Keadilan, kata Rawls tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warga negara dianggap mapan; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial.
Fakta tidak bisa dielakan bahwa apa yang terjadi hari ini ketidak adilan yang dinilai oleh ‘Gempur Dae’ merupakan bias dan rentetan Pemilukada yang dihelat beberapa bulan lalu, yang hingga kini menyisahkan sengketa yang membodohkan rakyat. Sapu bersih dalam arus rotasi, mutasi, promosi dan penyusunan kabinet untuk mendukung lajunya program kerja pemerintahan sangat sulit dianggap sebagai sebuah kewajaran. Apalagi diangkat SDM yang tidak mendukung kinerja organisasi, malah merusak citra pelayanan publik.

Kepada semua komponen yang terlibat langsung dalam persoalan mutasi (pemerintah) juga bagi korban rotasi, mutasi, promosi bisa sama-sama introspeksi diri, tidak ada manfaatnya dendam sesama aparatur. Sudah saatnya memetakan persoalan terutama analisis penempatan SDM yang dibutuhkan organisasi yang akan melayani kebutuhan publik, secara proporsional agar tidak menimbulkan kecemburuan dan iri hati. Bagaimana pun juga aparatur tersebut digaji dengan uang rakyat. Tidak ada salahnya menciptakan suasana kerja bagi mereka agar memiliki nilai ibadah dan semuanya bisa sama-sama merasakan bahwa hidup memang bukan benar-benar sebagai ancaman. Berargumentasi, mencari pembenaran tentang rotasi dan mutasi; demi kebutuhan organisasi, yang tidak sesuai fakta di lapangan hanya akan melahirkan ledekan-ledekan.

Semua dituntut memiliki tanggungjawab moral, jika tidak kenapa ingin menjadi palayan rakyat? Pelayan rakyat bukan sekedar gagah-gagahan petenteng konsep kerakyatan. Apa yang terjadi jika peran sosial kita lebih banyak fiktifnya ketimbang sebuah ketulusan dan peran-peran cerdas atau menduniawikan semua yang suci untuk melanggar ketentuan Tuhan dan hukum negara. Memperjuangkan keadilan adalah juga memperjuangkan harkat dan martabat, ‘Gempur-Dae’ benar-benar telah menggelitik demi masa depan yang bermartabat.


0 komentar:

Posting Komentar