dylla lalat

MELUKIS KEGELISAHAN LEWAT SASTRA MEMBUSUR RUHANI MELALUI PENA

Yang Datang dan Yang Pergi

(Catatan Menyambut Tahun 2010 Pisah Dengan Tahun 2009)
Membaca Bima pada tahun sebelum 2010 menggiring kita pada suasana saat membaca cerita-cerita silat, lucu, unik atau layaknya cerita Kopingho dan Wiro Sableng. Kisah pendekar yang selalu hadir dengan penutup mata sebelah tersebut, juga dikenal dengan sandi 212. Bagi anda yang telah tuntas membacanya tersirat ia dikemas untuk menghibur karena jalan ceritanya sangat lucu, banyak intrik, tokoh yang dibangun penuh keunikan dengan semangat membela kebenaran. Nampak jelas bahwa si Bastian Tuto, menggarap cerita tersebut bukan hanya asal menjadi sebuah cerita alias cerita kacangan, melainkan digarap penuh daya dan upaya maksimal memenuhi standar layaknya sebuah fiction.



Hanya saja yang jarang pembaca temukan yakni adanya unsur pornografi dan cumbu-cumbuan dari awal hingga akhir cerita seperti cerita-cerita pop kebanyakan. Demikian pula halnya dengan serial Kopingho. Kisah pendekar China ini begitu sempurna diurai oleh Asmara Dana, sehingga tidak heran mampu menyedot jutaan pembaca. Walau kita semua sadar dan paham termasuk penulis cerita tersebut bahwa yang bisa menjadi pendekar dalam sebuah cerita bukan saja dia yang dari China, siapa saja boleh dari mana pun dia. Bagi anda yang pernah membaca dua cerita tersebut tidak perlu penulis ceritakan lagi di sini. Sedangkan bagi anda yang belum, tentu saja tidak cukup ruang dan waktu bagi penulis untuk mengelaborasinya kembali. Yang pasti cerita yang dimaksud diatas, pada zamannya sangat banyak yang menggandrunginya bahkan tidak kalah pamor dengan cerita Harry Potter yang sekarang lagi-in.
Tahun 2009 adalah tahun penuh harapan ketika berada pada ujung Tahun 2008. demikian pula sebaliknya untuk Tahun 2010 ini, kita sudah banyak menitipkan harapan di ujung tahun 2009 yang baru lewat. Dalam pigura 2009 ada banyak kleodoskop yang mengharu biru. Dari persoalan kecil sampai persoalan besar, dari urusan dunia hingga urusan akhirat. Dari urusan dendam politik hingga berpelukan mesrah karena telah memenangkan skenario, strategi melumpuhkan lawan.
Tokoh- tokoh, figur, kaum kerabat datang dan pergi, gugur satu-satu. Semuanya bersiklus sesuai garis edar mengikuti grand-designe yang telah ditentukan. Tidak ada yang berani menantang. Hukum alam dan hukum Tuhan berpadu menguji dan menggugah nurani kita sebagai manusia. Jutaan kepala antara kita, tentu ada yang buta, setengah buta bahkan hanya menatap kosang tak perduli. Ada pula yang berpura-pura menjadi pendekar nurani membantu dan menjadi hero sesaat ketika menghedaki sesuatu dari yang tengah dibantu. Proses yang seperti itu seakan-akan dipaksakan mengalir bagai air lalu alamiah saja sifatnya.
Prilaku yang dikuasai oleh imajinasi-imajinasi tersebut memungkinkan manusia lupa diri, buta akan barometer keintegritasan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, berbangsa, berkelompok bahkan dengan yang Maha Kuasa sekalipun. Mudah-mudah kita termasuk dalam golongan yang selalu serius dengan derita dan duka teman-teman yang tengah diuji tersebut. Duka dan derita adalah cermin yang tak pernah kabur. Anehnya kita sendiri yang suka mengabur-ngaburkannnya secara berjamaah maupun individual. Seakan-akan humanitas dan solidaritas telah sirna. Duka dan derita adalah corong yang akan menjembatani kualitas lahiriah dan bathinian simpul dari mana pun ia, yang kelak mesti dipertanggung jawabkan.
Absolutisme terhadap imajinasi membayangi nilai-nilai dan fondasi religiousitas yang telah lama dibangun. Tidak diragukan lagi pola tersebut sama dengan mengukuhkan dan melanjutkan prilaku kaum nudis yang sama sekali tanpa memiliki kesamaan background budaya dan moral dengan kita. Pendekar palsu muncul merajalela dan membumi mementalkan pendekar asli tanpa pamrih. Dan itu sebenarnya bukanlah jawaban essensial terhadap eksistensi manusia.
Permasalahan yang terjadi adalah adanya krisis integritas secara menyeluruh sehingga yang terjadi adalah nafsu ingin memiliki tak terbendung. Erosi keintegritasan muncul karena tidak banyak membaca terutama ke dalam diri, mengamati dan selalu menganggap remeh orang lain. Biasanya kita hanya berebut untuk menjadi nomor wahid ketika berhadapan dengan hal-hal yang memantik puja dan puji. Ia tahu, itu bukanlah segala-galanya. Porsi kepura-puraan mengalahkan prilaku sehat dan cerdas yang menjadi benteng pertahanan diri. Kelemahan seperti ini, selalu kita perlihatkan bahkan menciptakan ketergantungan pada sesuatu yang mestinya tidak perlu;- jangankan untuk diimplementasikan diingat-ingat pun tidaklah pantas.
Bagi kita apa yang dianggap penting tahun 2010?Yang paling utama adalah bagi pemimpin atau pun yang bakal calon menjadi pemimpin dari semua golongan adalah memiliki keberanian untuk hijrah lahir dan bathin. Rapor merah di tahun 2009 harus dihapus, saatnya menatap dan mantapkan potensi diri dengan tujuan yang telah dirumuskan secara bersama-sama. Kuatkan pondasi menuju kemenangan the day after dengan tidak merampas kewenangan dan hak orang lain. Hal tersebut untuk menghindari petaka yang seketika akan mewabah. Hijrah lahir bathin dengan benar-benar tidak bernafsu memandang barang atau benda-benda yang berpotensi menggerogoti nilai kemanusiaan. Tahu tugas masing-masing dengan apa yang harus dikerjakan dan apa yang mesti tidak dikerjakan. Kita harus tampil sebagai unit reaksi cepat dalam melayani kebutuhan dan kepentingan rakyat bukan hanya memperkuat golongan tertentu saja.
Falsafah ketimuran harus benar-benar diterapkan, yang busuk segera diamputasi agar tidak menjangkiti yang lain. Jangan pernah bercermin pada falsafah kacang panjang, kendati sudah dipotong-potong ia tetap menjadi kacang panjang. Artinya yang busuk dan melanggar itu tidak perlu diberi ruang yang nantinya akan berubah racun dan itu perlunya keberanian. Kemerdekaan berpikir anak bangsa patut diberi ruang untuk berekspresi daripada mereka turun ke jalan mencaci maki dan memaksakan kehendak untuk membuat perlemen jalanan. Mereka cukup paham bahwa mengubah sebuah dinasti dibutuhkan sesuatu yang radikal bahkan revolusioner, demi terciptanya tatanan yang lebih baru dan inovatif. Mereka paham bahwa tidak benar jika selalu mengalah karena kelak mereka akan sangat mudah dikalahkan. Mereka paham bahwa kebebasan tidak ditentukan oleh penguasa melainkan oleh cara mereka berpikir dan bertindak.
Gerakan mobilisasi sosial yang mereka lancarkan sangat menentukan siapa sebenarnya calon pemimpin dan bukan hendak mengkudeta siapa yang sedang memimpin. Mereka paham mereka tidak sedang menjadi pendekar yang jago dalam cerita Kopingho dan Wiro Sableng, namun demikianlah ekspresi kemerdekaan berpikir anak bangsa yang sudah jenuh dengan skenario yang menceritakan itu-itu saja. Sudah saatnya sebagai pelayan masyarakat kita menggauli mereka dengan nurani dan rasa keadilan dengan tanpa menghindarinya. Mereka sudah mengetuk pintu kita tanpa pangkat di pundak dan di dada. Dan mereka tetap menjadi cermin yang tak pernah berubah.
Lalu siapkah kita mengakhiri cerita Kopingho dan Wiro Sableng itu dengan segala intrik silat, rekaya, unik dan lucunya? Atau justru di tahun 2010 ini kita akan lebih memperpanjang durasi episodenya dengan kisah pendekar China yang justru tidak enak dibaca?

0 komentar:

Posting Komentar