dylla lalat

MELUKIS KEGELISAHAN LEWAT SASTRA MEMBUSUR RUHANI MELALUI PENA

JANGAN MAIN-MAIN DENGAN KELAMINMU

Kalau saja, apa yang telah kita lakukan benar-benar lebih awal diketahui resikonya, maka pasti apa yang akan kita lakukan itu urung dilakukan bahkan akan kita buang jauh-jauh, seberapa pun penting dan mendesaknya ia.

Kalau saja sesuatu itu memungkinkan kita melejit; menjadi orang yang lebih dikenal tak disertai gejala tak karu-karuan, mungkin saja apa yang tersedia di bumi ini akan habis diembat. Kalau saja, apa yang telah dilakukan oleh seseorang itu dengan rasa senang akan dituruti atau diikuti orang diluar diri, maka bisa dipastikan dinamika yang kita hadapi tidak akan menawarkan darah dan air mata. Semuanya akan berjalan baik dan benar.

Manusia lahir dilengkapi dengan akal, agar ia memiliki kesadaran. Kesadaran menjalankan apa yang baik bukan saja menurut hukum agama melainkan baik, juga menurut hukum sosial kemasyarakatan. Artinya, manusia dengan hukum dan tata aturan tidak pernah bisa dipisah-pisahkan apa pun alasannya. Dan fakta, semua kita tentunya hanya bercita-cita untuk menjalankan hal itu, hari-hari dan waktu kita tetap menjadi gelap.

Manusia bisa memiliki cita-cita untuk menjadi apa saja, tergantung yang ia cita-citakan. Cita-cita menjadi milik semua manusia yang memiliki kesadaran untuk maju karena cita-cita itu sendiri adalah motivasi. Motivasi yang akan memicu gerbong ‘pemilik cita-cita’ agar tidak keluar dari lintasan yang tentu saja akan berakibat fatal. Bahkan yang mesti disalahkan adalah mereka yang tidak memiliki cita-cita, sehingga menuding orang lain macam-macam. Semuanya itu sah adanya dan tidak perlu dipertentangkan. Cita-cita adalah energi yang dengannya kita bisa bertegursapa dengan santun, bijak, penuh kekeluargaan dan persahabatan.

Hanya saja yang membedakan adalah teknik, strategi, cara dan waktu tempuh untuk menggapai cita-cita itu sendiri. Ada yang ingin mengambil cara instan, pragmatis bahkan tidak mampu membaca kedalam diri. Sehingga, yang muncul adalah penyakit meremehkan orang lain, seakan-akan hanya dirinya yang pintar, baik, benar dan hebat.

Kecenderungan sementara ini, kehebatan seseorang bukan dinilai dan diukur seberapa besar manfaat ia berbuat untuk masyarakat disekitar, melainkan seberapa Mudharat ia melaksanakan hal yang dianggap mampu mendongkrak popularitas kendati harus melawan hukum. Seakan-akan hukum menjadi tempat bersarang dan bertopengnya para kelompok kepentingan untuk berkamuflase. Seolah-olah hukum adalah sebuah wilayah yang sudah dikapling secara permanen untuk melindungi pola-pola yang tidak sehat, dan tidak bisa disentuh orang lain yang dinilai tidak memiliki kesamaan pandangan dan kosep.

Wilayah aturan, norma, etika dan hukum terkesan wilayah kebijakan. Dan tentu yang memiliki Policy tersebut hanyalah seorang atasan atau pimpinan. Wilayah kebijakan akan bisa dimiliki oleh bawahan manakala telah dimandatkan atau didelegasikan, selama itu bisa dipertanggung-jawabkan. Dengan kata lain, wilayah para pemimpin adalah wilayah eksklusif-elitis, yang penuh dengan ornamen dan simbol-simbol, full of presticious. Kendati yang lebih kuat pada ranah tersebut adalah muatan politisnya.

Banyak diantara kita, yang manakala telah berada dipuncak, dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki tidak segan-segan bermain-main dengan lingkaran itu. Membuat aturan sampai mengeluarkan keringat kemudian dengan sadar mengajak untuk bersama-sama melanggarnya. Pola menciptakan game seperti ini hampir dipastikan menjadi kebiasaan kita dan sangat tertatih untuk mau mengubahnya. Akibatnya, kita dianggap sangat kekanak-kanakan tidak mau mendengar nasihat yang sehat demi kemaslahatan bersama.

So What Can You Do With Your Country? Awal-awal membangun Indonesia, Soekarno-Hatta selalu membumikan pernyataan tersebut, yang ia kutip dari Presiden AS, John F Kennedy. Dengan harapan, semangat yang demikian bisa diwariskan pada kita saat ini. Kita semua paham bahwa membangun kepercayaan masyarakat, membangun mentelitas dan kesadaran aparatur bukan dengan pernyataan, motto dan sesumbar yang penuh dengan retorika dan simbol-simbol. Implementasi yang benar-benar sesuai dengan apa yang telah dimottokan itu yang perlu.

Membangun kepercayaan, mentalitas dan kesadaran adalah sebuah investasi dunia wal akhirat dan itu harus dimulai dari pimpinan, karena kecederungannya apa yang telah difatwakan oleh mereka tentu saja yang lainnya akan nurut. Bagi gerbongnya, ‘fatwa’ difahami sebagai ideologi yang jika tidak dilaksanakan maka akan siap mendapatkan murka.

Ada baiknya kita mengedepankan prinsip investasi adalah investasi, bukan investasi adalah politik. Manakala investasi diarahkan hanya semata-mata pada persoalan politik maka tamatlah ia. Bersegeralah untuk menghadapi pergolakan, pengerahan massa yang tentu saja akan berbuntut pada pengerusakan fasilitas dan pertumpahan darah. Hukum yang kita anut menyatakan, apa pun bentuk pengerusakan merupakan perbuatan anarkis yang melawan hukum. Sama halnya dengan mencurangi hak-hak rakyat demi kepentingan pribadi atau golongan.

Jika saja peraturan yang awalnya dihajatkan untuk menormalisasi tingkah laku dan perbuatan yang dinilai melawan, hanya menjadi pajangan layaknya barang mewah yang dipajang di super market dan toko-toko, apa yang bisa dibanggakan oleh Sang Proklamator tercinta juga masyarakat?

Hari ini melarang kami untuk berbuat sesuatu yang melanggar aturan, beberapa saat kedepan engkau sendiri memimpin yang lainya untuk menghianati. Jika benar-benar engkau tidak mampu untuk menjunjung tinggi supremasi itu maka jadilah pendekar moral yang siap mundur jika nyata-nyata sudah tidak mampu. Politik tak selamanya tidak menawarkan tragedi. Dan itu akan selalu dikenang. Ia akan selalu memunculkan kesangsian bagi siapa saja aktornya.

Seharusnya politik adalah panggung agung, wilayah dakwah untuk menebarkan syair-syair nurani dan siar-siar kemanusiaan sebagai investasi akhirat. Karena semua sadar kita akan menuju pada kematian abadi. Tak ada manfaatnya semakin garang menciptakan game-game keliru demi sebuah titah yang hanya melanggengkan kami untuk tetap awas dengan senjata ’Jangan main-main dengan kelaminmu’.

Jangan Main-main dengan Kelaminmu: Judul Novel Karya Ayu Utami

0 komentar:

Posting Komentar