dylla lalat

MELUKIS KEGELISAHAN LEWAT SASTRA MEMBUSUR RUHANI MELALUI PENA

Satu Jam Jadi Anti Korupsi

Sistem Administrasi dan Manajemen pemerintahan yang dikembangkan oleh para penyelenggara pemerintah di wilayah Kota Bima menarik kita cermati dan telusuri. Kenapa tidak, fakta yang bergolak tidak ubahnya dengan apa yang tengah berlangsung di Negara Timur Leste alias Timor-timur. Disana sini terjadi kebocoran. Saling tuding yang terlibat dengan yang tidak terlibat menjadi polemik tanpa ujung dan bukan lagi hal yang memalukan.

Roda perekonomian berjalan setengah-setengah. Pendidikan politik yang dihajatkan bagi masyarakat lari keluar lintasan yang telah ditentukan. Hukum dan perundang-undangan yang ditetapkan agar terwujud rasa berkeadilan berubah menjadi mesin pembunuh. Tentu saja kesemuanya itu akan mengarah pada dendam tanpa ujung.

Aksi demonstrasi dengan mengusung kepentingan masing-masing, bukan lagi menunjukan show of force dalam pembelaan hak-hak masyarakat, melainkan yang terselubung adalah upaya pengusiran disertai dengan penekanan terhadap orang-orang tertentu karena dianggap telah menodai hati nurani rakyat. Rakyat yang mana? masih harus dipertanyakan kejelasannya.


Rakyat sering kali menjadi kambing hitam dan adakalanya pula menjadi senjata demi memuluskan target-target politik tertentu. Sebuah prinsip dan perjuangan berpolitik yang sering dipertontonkan oleh para pejuang politik yang telah mengidap penyakit over paranoid. Akibatnya, saling menghargai bukan lagi yang prinsipil dan pengakuan kelebihan dan keunggulan orang diluar diri tidak dianggap. Sehingga kuat dugaan, mungkin hingga ratusan tahun ke depan bangsa ini tidak akan mencapai budaya unggul (excellent culture) sebagaimana yang diharapkan bersama.

Belum pudar dari ingatan, yel-yel anti korupsi digelorakan secara terbuka, ditandai dengan penandantanganan MoU anti korupsi. Empat unsur (Pemerintah Kota, Kejaksaan, Kepolisian dan DPRD) yang disinyalir paling banyak mengidap penyakit kriminal tersebut ikut dilibatkan. Luar biasa tentunya demi prinsip stand to change, berdiri untuk perubahan.

Saking serisusnya, puluhan meter spanduk berikut baliho ukuran super jumbo dipasang didepan mata agar disetiap inci langkah kita akan selalu diingat bahwa mengkorup adalah prilaku yang sangat jahat. Namun, anehnya, semakin banyak aturan dan kesepakatan yang diciptakan semakin banyak dan sopan pula modus operandi bagaimana mengkorup.

Hingga kini status uang rakyat senilai Rp 16,5 M masih dipolemikkan. Layaknya berita-berita siur para artis dalam infotainment. Selalu menghebohkan. Para wakil rakyat di lembaga DPRD Kota Bima tidak memiliki nyali untuk bersikap, apakah mereka yang punya atau bukan. Yang jelas uang senilai itu tidak mungkin dihabiskan sendiri oleh pemulung atau manusia tua yang keseharianya sebagai pemecah batu dilereng-lereng gunung. Lucunya bukan kepalang. Setelah mengkorup rame-rame giliran dimintai pertanggungjawaban tidak ada yang berani. Sungguh ajaib?

Kota Bima adalah Kota Bima dan tidak mungkin berubah menjadi negara Timur Leste. Sebagai catatan bahwa mengkorup tidak mengenal siapa, waktu, tempat apalagi posisi. Malah sebaliknya, semakin bagus tempat dan posisi kita berdiri akan semakin terbuka peluang untuk mengkorup, dari yang kecil hingga yang mega korupsi.

Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap Rp 16,5 M tersebut?

Keseriusan menetapkan dan untuk mengakui bertanggung jawab, belum ada yang nampak. Apalagi bentuk hukum demi statusnya. Lempar tangan demi kejelasan status hukum hanya melahirkan pukul-pukul meja dan aksi demonstrasi mempertahankan pembenaran. Adu kekuatan antara yang pro stutus dengan yang anti status tumpah ruah dijalanan merusak pandangan.

Menanam sejengkal kebaikan sama dengan mengharapkan seribu harapan. Kebaikan dan kebenaran adalah sebuah investasi dan itu masih kurang ditemukan pada para stake holder di wilayah Pemerintahan Kota Bima. Padahal terwujudnya clean governance dan kehidupan yang berkeadilan merupakan cita-cita luhur untuk membuat manusia bahagia. Bukan saja dalam line interaksi sosial, pada line antara hamba dan sang Pencipta pun sangat diperlukan.

Penggalangan kekuatan yang turun ke jalanan demi sebuah kebenaran secara politis sudah tidak layak lagi dilakukan. Eksekutif dan legislatif sudah saatnya mengedepankan rasionalitas berpolitik yang mencerdaskan, karena Rp 16,5 M harus diselamatkan. Jika sekiranya dasar keterangan hasil audit BPK yang menyatakan bahwa Rp 16,5 M itu harus dicarikan statusnya, maka unsur penyidik dari pihak Kepolisian maupun Kejaksaan dan Pengadilan tidak boleh tidak mesti dilibatkan. Kelompok yang dituding telah berbuat curang harus rela menerima dan membuka diri. Karena yang namanya bangkai sedalam apapun ditanam baunya akan tercium pula.

Pemberantasan korupsi, takut dan anti mengkorup bukan hanya pada saat sejam dilakukan seremonial penandatanganan MoU saja. Dan bukan hanya dijadikan konsep politik sebagai alat kampanye karena ingin target tertentu saja. Konsep itu harus dijalankan agar tatanan menjadi indah dan damai. Bayi yang bernama Kota Bima masih belum cukup umur untuk dianiaya. Ia masih sangat membutuhkan orang tua yang mengerti merek susu yang cocok untuk diberikan. Ia bukan Negara Timor Leste yang belum jelas status orang tuanya sehingga dengan sangat mudah bisa diecer-ecer.

Konsep pembangunan yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat sudah saatnya di rilis ulang, jika tidak ingin dituding sebagai manusia yang hanya sejam jadi anti korupsi.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima. Email:dylla18lalat@yahoo.com


0 komentar:

Posting Komentar